Page 96 - E-Booklet Perang Dunia I & II
P. 96
Ketika Hitler bersama pasukan Jerman
menyerbu Belanda pada 10 Mei 1940, pusat
pemerintahan Belanda memberlakukan
undang-undang darurat perang dan
melarang diadakannya rapat politik secara
umum. Belanda memberlakukan
“moratorium politik” yaitu menunda
pembahasan politik hingga perang selesai.
Indonesia sebagai negara jajahan Belanda
menjadi bergantung pada keadaan ini
yang turut menghambat pergerakan para
pejuang kemerdekaan. Gubernur Jenderal
Hindia Belanda ke-69, Tjarda van
Starkenborgh Stachouver dalam
pidatonya mengatakan bahwa semua
usulan mengenai perubahan
ketatanegaraan akan ditunda sampai
perang di perbatasan selesai. Namun sikap
Gambar 3.10 Foto Gubernur
Jenderal Hindia Belanda ke- Belanda yang semakin konservatif ini tidak
69, Alidius Tjarda van melunturkan kekuatan solidaritas para
Starkenborgh Stachouver pejuang Indonesia yang justru semakin
(Sumber: sumatratimes.co.id) kuat.
2) Pintu Masuk bagi Jepang ke Indonesia
2 ) P i n t u M a s u k b a g i J e p a n g k e I n d o n e s i a
Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II dan berada pada pihak
yang sama dengan Jerman membuat Jepang membutuhkan pasokan
sumber daya alam untuk peralatan perangnya, seperti minyak,
bauksit, karet, dan lainnya. Sebelumnya, sumber daya ini memang
sudah sangat diincar oleh Jepang, terutama ketika tahun 1930-an saat
depresi ekonomi mempengaruhi dunia internasional yang
mempengaruhi kondisi ekonomi Jepang dan Hindia Belanda. Jepang
melakukan impor beras ke Indonesia dengan kuantitas yang banyak
melebihi Belanda. Jepang menawarkan harga yang murah kepada
Indonesia dalam hal perdagangan sehingga hubungan ini selalu
disambut baik oleh rakyat Indonesia. Namun ketika Amerika Serikat
menghentikan hubungan dagang dengan Jepang pada Juli 1939,
Jepang semakin memiliki hasrat untuk menguasai komoditas alam
yang ada di Hindia Belanda.
85
8 5