Page 16 - PEMBERITAAN TERKAIT LAUNCHING BUKU KERJA DAN KINER7A
P. 16
Meski begitu, persyaratan yang dibutuhkan dalam perizinan tetap sama. Tidak ada tawar-menawar dalam
penilaian dan persetujuan peredaran obat dan vaksin. Sebab, kedua produk tersebut merupakan produk
berisiko tinggi.
”Percepatan itu memungkinkan untuk dilakukan. Namun, kita harus tetap konsisten untuk
mengedepankan basis sains. Itu semua untuk memastikan produk yang beredar di masyarakat terjamin
mutu, keamanan, dan manfaatnya,” tutur Penny.
Percepatan tersebut pada pemberian izin penggunaan darurat (EUA) pada obat dan vaksin Covid-19 yang
diimpor dari luar negeri serta vaksin yang diproduksi di dalam negeri. Sekalipun izin telah diberikan,
pemantauan ketat juga dijalankan sejak produk masuk dari luar negeri sampai pada proses produksi dan
distribusi. Pemantauan kejadian tidak diinginkan serta kejadian ikutan pascaimunisasi pun dilakukan.
Ia menambahkan, di balik tantangan yang dihadapi selama masa pandemi, kerja sama dan komitmen
berbagai pihak telah membuktikan bahwa Indonesia mampu membangun kemandirian dalam produksi
obat dan vaksin. Setidaknya, selama pandemi, sudah ada dua tambahan perusahaan vaksin dalam negeri,
yakni PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia dan PT Etana Biotechnologies Indonesia. Sebelumnya,
Indonesia hanya memiliki satu perusahaan vaksin, yakni PT Bio Farma.
Menurut Penny, keberhasilan Indonesia melewati pandemi Covid-19, khususnya terkait ketersediaan
obat, vaksin, dan alat kesehatan, sangat dipengaruhi kerja sama dan kolaborasi berbagai pihak. Kerja
sama tersebut terbangun antara pemerintah, industri, akademisi, media, dan masyarakat luas. Kerja sama
tidak terbatas di dalam negeri, tetapi juga kerja sama internasional.\
”Dukungan dari para ahli pun sangat berperan sehingga keputusan yang diambil oleh BPOM bisa tepat
dan berbasis sains. Intervensi lain tidak akan berpengaruh, apalagi jika hanya karena tekanan politik dan
kepentingan sesaat. Kepentingan masyarakat luas, terutama terkait keamanan, harus diutamakan,”
tuturnya.
Menurut Penny, konsistensi dalam mengutamakan basis bukti ilmiah tersebut pula yang menjadi
landasan tidak adanya izin yang diberikan oleh BPOM pada penggunaan Ivermectin serta vaksin
Nusantara untuk penanganan Covid-19. Data, bukti ilmiah, serta masukkan dari tim ahli menjadi dasar
dari keputusan yang diambil oleh BPOM.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang juga Ketua Tim Peneliti Vaksin Merah
Putih Fedik Abdul Rantam menyampaikan, buah dari kerja sama yang baik telah ditunjukkan dengan
lahirnya vaksin Merah Putih atau yang saat ini diproduksi dengan merek dagang Inavac. Vaksin tersebut
diklaim 100 persen menggunakan teknologi anak bangsa.
”Dalam pengembangan vaksin tersebut, kami telah mendapatkan bimbingan yang penuh dari BPOM.
Guidelines(panduan) juga diberikan hingga vaksin Merah Putih bisa tercipta,” katanya.
Direktur Utama PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia FX Sudirman menunjukkan botol vial berisi 2,5
mililiter produk vaksin Inavac (Vaksin Merah Putih) atau dosis untuk lima orang dewasa di pabrik