Page 35 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 35
di Desa Ngandagan menempatkan reforma agraria sebagai
bagian dari konteks sosial budaya, relasi sosial, dan ekonomi
masyarakat, sehingga reforma agraria dapat dan seharusnya
dijalankan dengan berbasis pada masyarakat. Powelson dan Stock
(1987) menyebut fenomena tersebut dengan istilah land reform
by leverage atau reforma agraria melalui “dongkrak”. Dalam
penelitian itu, digambarkan land reform yang dijalankan oleh satu
desa pada 1947 atas inisiatif desa sendiri tanpa ada arahan dari
pemerintah daerah dan pusat. Inisiatif tersebut didasarkan pada
konteks sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat yang
memang membutuhkan redistribusi aset.
Titik bidik penelitian reforma agraria yang lain adalah terkait
dinamika perebutan klaim atas tanah-tanah negara, antara yang
pro-reform dan counter-reform (Fauzi, 1999, 2017). Begitu juga
dengan “pertentangan antaraktivis”, misalnya terkait terbitnya
Tap MPR IX/2001 (Lucas & Warren, 2003). Hal yang juga penting
untuk dilihat adalah kemungkinan munculnya pertentangan
antarpetani, seperti yang terjadi di Filipina. Rutten (2010)
dalam Who Shall Benefit? Conflicts among the Landless Poor
in a Philippine Agrarian Reform Programme menggambarkan
terjadinya konflik antar petani terkait kebijakan reforma agraria
yang dijalankan pemerintah. Baginya, posisi aktor dan tumpang
tindih kepentingan didalamnya akan memengaruhi klaim atas
tanah dalam program reformasi agraria.
Khusus terkait di Cipari yang menjadi tempat penelitian ini,
telah ada beberapa penelitian yang menyinggungnya. Purnomo
(2005) melakukan penelitian berupa pendeskripisian profil
gerakan reclaiming yang dilakukan SeTAM, pendeskripsian
pola hubungan antarpihak yang terlibat dengan SeTAM, serta
18 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono