Page 58 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 58

Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia     49


                   Pengelolaan tanah negara ini dapat dilakukan melalui beberapa kebijakan, diantaranya
             adalah  pemberian  hak  atas  tanah  melalui  redistribusi.  Menurut  Maria  Sumardjono  secara
             teoritis,  tanah  yang  digarap  oleh  masyarakat  setempat  atas  tanah  negara  bekas  Hak  Guna
             Usaha dapat diberikan kepada penggarap dengan status hak pakai atau hak milik. Hal ini juga
             disebut sebagai penguatan hak, dimana petani yang  awalnya hanya sebagai penggarap dapat
             memiliki tanah tersebut.
                   Berdasarkan SK Bupati Rejang Lebong dan SK Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

             Nasional  Provinsi Bengkulu,  akhirnya masyarakat  petani  di wilayah  tanah  eks HGU tersebut
             dapat memiliki penguatan hak atas tanah mereka sesuai dengan pelaksanaan program reforma
             agraria  yang  memberikan  legalitas  hukum  atas  tanah  nya.  Pemberian  legalitas  hukum  atas
             tanahnya menjadikan masyarakat memiliki kepastian hak terhadap tanah pertaniannya, artinya

             masyarakat memperoleh kepastian hukum terhadap tanah miliknya.
                   Program reforma agraria di Kabupaten Rejang Lebong pada dasarnya adalah pemberian
             legalitas  hukum  kepada  masyarakat  petani  yang  selama  ini  menduduki  atau  “menyerobot”
             tanah di kawasan bekas HGU PT. Bumi Megah Sentosa. Jadi bukan merupakan kegiatan “bagi-
             bagi tanah” pada petani miskin seperti asumsi umum yang mengira bahwa Negara membagikan
             tanah  pada  masyarakat  miskin.  Akhirnya  pada  tahun  2018,  Provinsi  Bengkulu  melaksanakan

             program redistribusi tanah terhadap tanah bekas Hak guna Usaha PT Bumi Megah Sentosa.

             Rekomendasi
                   Pelaksanaan  reforma  agraria  dapat  dipengaruhi  oleh  empat  faktor,  antara  lain:(1)
             pengaruh elit politik yang sadar dan mau mendukung program reforma agraria; (2) keberadaan

             organisasi petani atau kelompok masyarakat adat yang kuat; (3) ketersediaan data yang lengkap
             dan akurat; (4) ketersediaan anggaran yang memadai.
                   Kunci  pelaksanaan  program  reforma  agraria  bukanlah  pada  perencana,  pakar  atau
             undang-undang yang mengatur ataupun yang dibuat untuk melandasi program tersebut, tetapi
             yang  utama  adalah  dari  sikap,  kesadaran,  serta  kemauan  para  elit  politik  untuk  mau
             mendukung  pelaksanaan  program  reforma  agraria.  Kesadaran  serta  kemauan  elit  politik

             tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan adanya surat keputusan bersama antara Pemerintah
             Daerah setempat dengan pihak yang berwenang mengatur program reforma agraria (dalam hal
             ini kantor Kementerian ATR/BPN). Sedangkan untuk pengaturan pelaksanaannya dibuat suatu
             panitia kerja baik dari Pemerintah Daerah, Kantor Kementerian ATR/BN serta pihak-pihak lain
             yang berkaitan dengan program reforma agraria.

                   Selanjutnya  pihak-pihak  yang  berwenang  dalam  program  reforma  agraria  juga  harus
             menyediakan  data  yang  lengkap  dan  akurat  mengenai  keberdaan  tanah-tanah  yang  akan
             diarahkan untuk pelaksanaan program tersebut. Data mengenai tanah obyek landreform yang
             berasal dari HGU atau HGB yang telah habis masa berlakunya, selain itu juga harus bebas dari
             konflik, serta bukan tanah yang telah dikuasai masyarakat.
                   Peran  organisasi  petani  ataupun  masyarakat  adat  juga  penting  dalam  pelaksanaan

             program reforma agraria, karena dengan keberadaan mereka panitia yang bertugas akan lebih
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63