Page 19 - Konsolidasi Tanah, Tata Ruang dan Ketahanan Nasional
P. 19
Konsolidasi Tanah, Tata Ruang, dan Ketahanan Nasional 5
kota (urban fringe) yang potensial berkembang. Begitu pun,
hasilnya masih banyak yang tidak optimal dikarenakan pada
umumnya pelaksanaan KT yang sudah selesai disertipikasi
oleh otoritas pertanahan tidak ditindaklanjuti pembangunan
fisiknya seperti prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya.
6
Disayangkan pula, ketika terjadi tsunami di Aceh tahun 26
Desember 2004, KT juga belum digunakan sebagai pilihan
utama untuk melakukan penataaan kembali wilayah yang
mengalami kehancuran karena tsunami tersebut. Meskipun
demikian, ada 1 (satu) desa yakni Desa Lumbung yang ditata
dengan KT. Hasilnya, memang sangat memuaskan, namun
sayang belum berhasil dilaksanakan lebih massif untuk
merestorasi wilayah yang mengalami kerusakan karena
tsunami yang maha-dahsyat itu. Menarik pula, mencermati
7
dilaksanakannya KT pada Kawasan Rawan Bencana Gunung
Api Merapi (KRB III), Kecamatan Cangkringan, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta, untuk menata kembali kerusakan tanah
pertanian masyarakat yang rusak akibat letusan dahsyat
Gunung Merapi tahun 2010. Ada gagasan agar konsep KT
yang akan dilaksanakan dikaitkan dengan konsep ekoturisme
oleh karena pada sebagian lokasi yang terkena dampak Erupsi
6 Oloan Sitorus, 2006,Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah
Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif
dalam Penataan Ruang di Indonesia, Penerbit Mitra Kebijakan
Tanah Indonesia, Yogyakarta, hlm. 192-198.
7 Oloan Sitorus, dkk, 2009, Konsolidasi Tanah sebagai Restorasi
Kerusakan Wilayah Permukiman Akibat Tsunami di Provinsi
Aceh, Laporan Penelitian Strategis Dosen STPN, hlm. 4.