Page 41 - Potret Perjuangan Bapak Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono
P. 41

Oloan Sitorus & Taufik N. Huda

            posisi teratas Bangsa Belanda baik dalam hierarki sosial maupun
            politik. Kedua, biaya memerintah negeri yang demikian luas ini
            tidak terlalu banyak. 36
                Pada masa dilaksanakannya kebijakan tanam paksa oleh
            Belanda, para bupati dan kalangan elit tradisional benar-benar
            memasuki jaman keemasan mereka. Mereka mendapatkan banyak
            keuntungan baik dari segi penghasilan maupun jaminan kedu-
                     37
            dukannya.  Tahun 1960 pemerintah kolonial memasuki periode
            liberal dan dikokohkan secara legal sepuluh tahun kemudian
            dengan disahkannya Agrarische Wet yang memberi kesempatan
            lebih luas kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya di
            Indonesia.
                Semakin intensifnya kegiatan ekonomi baik pemerintah mau-
            pun swasta tentu mensyaratkan sistem administrasi yang mod-
            ern. Maka dibutuhkan kemampuan yang lebih dari pamong praja.
            Hal ini tidak ada pada para bupati yang hanya mengenyam pen-
                                 38
            didikan tradisional saja.  Sesuai dengan semangat modern ini,
            pemerintah kolonial berusaha membawa elit tradisional ke jaman
            baru dengan pendidikan. Pada tahun 1878 pemerintah membuka
            Hoofdenscholen (sekolah untuk para kepala) di Bandung, Magelang,
            dan Probolinggo untuk anak elite atas. Mulai tahun 1893, sekolah-
            sekolah ini lebih bersifat kejuruan dengan mata pelajaran di bidang
            hukum, tata buku, pengukuran tanah, dll. 39


                36  Ibid, hlm. 156.
                37  Contoh hak istimewa yang didapatkan bupati antara lain kekuasaan turun
            temurun, hak penguasaan tanah dan hak mendapatkan pelayanan kerja dari rakyat.
            Hak-hak tersebut sangat rawan diselewengkan, terutama dalam penggunaan tenaga
            kerja paksa
                38  Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 20.
                39  M. C. Ricklefs, op.cit. hlm. 196.

            28
   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46