Page 79 - 3 Curut Berkacu
P. 79

 Sambal Berikrar 61
soalnya, tapi itu bukan penghalang kami menjadi saling akrab. Apalagi gue termasuk pelanggan yang paling rajin membawa teman dan akhirnya menjadi pelanggan setia dia juga.
“Baik mas, Alhamdulillah...,” balasnya dengan logat khas Jawa.
“Makan sini, Mas?” tanya si Abang soto, tetap dengan balutan senyum. “Tapi lagi penuh loh, Mas...” lanjutnya sebelum sempat gue jawab. Gue ngerti, pertanyaan itu sebenarnya hanya formalitas belaka, si Abang soto pasti tau bahwa gue belum pernah sekalipun minta dibungkus, belum lagi karena setiap ke sini pasti dalam keadaan lapar berat. Cacing-cacing di usus gue sudah meronta minta jatah makan.
Oh iya, tak satu pun kursi tesisa. Meskipun sudah dibilangin sama si Abang soto, tetap saja kepala gue melongo ke kiri dan ke kanan memastikan bahwa memang tidak ada yang kosong. Nahas emang nasib kami sore ini.
“Gak apa-apa, bang, Kite makan sini aje,” ucap gue sambil menunjuk ke arah emper jalan tempat kita parkir motor persis depan grobak soto yang hanya dipisahkan oleh jalur trotoar. Gue melirik ke arah Iqbal dan Bima yang sedang gesor1 di gigir motor. Iqbal mengangguk dan Bima menaikkan kedua alisnya tanda setuju dengan usul gue. Dugaan gue, cacing-cacing mereka juga sudah pada meronta minta diasupin pakan, jadi soal tempat gak masalah di mana aja.
Untungnya, sudah cukup sore sehingga terik matahari
1 Bahasa Betawi: duduk santai
 


























































































   77   78   79   80   81