Page 48 - deCODE Vol 2/2018
P. 48
wajahnya menyiratkan penyesalan dan maaf. Dia menggeleng pelan.
“Maaf, saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menolong Aila. Namun ternyata Tuhan lebih sayang kepada Aila. Tumor yang dahulu sudah diangkat ternyata tetap ada dan semakin parah sehingga menjalar ke bagian tubuhnya yang lain.
Saya sudah menyarankan Aila untuk menjalani therapy pasca operasi tetapi dia tidak mau, jadi saya hanya bisa memberi obat pereda nyeri. Sekali lagi saya minta maaf kepada sanak keluarga. Saya akan pindahkan jasad Aila ke ruangan jenazah.”
Seperti bom atom yang menghampiri keluarga itu, perkataan sang dokter membuat semua orang yang berada di ruangan itu menangis kencang. Sang Ibu yang berada di pelukan suaminya terus-terusan menangis sembari mengucapkan kata maaf yang tiada hentinya.
“Maafkan mami Aila, mami udah jahat sama Aila. Papi! Anak kita udah gak ada dan mami belum meminta maaf sama dia pi.”
“Shhh... udah jangan nangis sayang, aku juga yang salah,” kata sang suami sambil terus memeluk istrinya dan ikut menangisi kebodohannya selama ini.
Angga yang terduduk di kursi tunggu, menopang kepalanya dengan kedua tangan. Menyesal. Menyesali segala perbuatannya kepada adiknya yang kini sudah tiada.
“Dek maafin kakak dek. Selama ini kakak gapernah anggep kamu sebagai adik. Maafin kakak..” isaknya parau.
***
Suasana pemakaman hari itu sangat khusyuk dan dipenuhi oleh tangisan dari sang keluarga. Jasad Aila sudah dikubur dan sekarang seorang ustad sedang memberi doa agar sang mayit diterima disisi-Nya. Ibu Aila terus mengusap-usap nisan yang bertuliskan nama anaknya dengan sayang.
Di sampingnya terlihat sang ayah tengah menatap nisan itu dengan pandangan kosong, pun dengan Angga yang sedang berdoa untuk sang adik dengan khusyuk.
Saat satu persatu orang pergi dari pemakaman tersebut sembari mengucapkan bela sungkawa kepada mereka, Bi Asih menghampiri Angga dan memberi sepucuk surat.
“Den Angga, Tuan dan Nyonya. Ini ada surat dari Aila yang ia tulis beberapa waktu lalu. Dengan bantuan bibi, dia menuliskan surat ini untuk ibu, ayah dan kakaknya tersayang,” kata Bi Asih sambil menyerahkan surat itu.
Angga dengan tangan bergetar menerima surat itu dan mulai membacanya. Air matanya tumpah lagi setelah membaca kata pertama dari surat itu. Begitupun dengan sang Ayah dan Ibunya.
50 deCODE Magazine