Page 22 - Buku Kemdikbud Ki Hadjar Dewantara
P. 22

menyebut  “sekolah  liar”.  Selain  itu, guru-guru diharuskan
            mendapat izin jika akan mengajar atau bersertifikasi lebih dulu.

            Pemerintah kolonial khawatir terhadap berkembangnya sekolah
            swasta di Indonesia.
                   Pada 1 Oktober 1932 KHD mengumumkan tantangannya
            terhadap  ordonansi  itu  lewat  telegram  kepada  Gubernur
            Jenderal de Jonge bahwa KHD  akan mengorganisasikan
            perlawanan pasif. Pada 3 Oktober dikeluarkan manifesto yang
            menganjurkan  perlawanan. Partindo, PNI,  Pasundan, PPPKI,

            BU,  dan Muhammadiyah  mendukung perlawanan terhadap
            ordonansi itu, jadi dukungan terhadap  perlawanan KHD
            makin kuat. Pembatasan apapun terhadap sekolah-sekolah
            membawa konsekuensi jangka panjang yang sangat berat dan
            menggoyahkan  pemerintah kolonial.  Akhirnya  pada  akhir
            Februari 1933 de Jonge menetapkan penghentian pelaksanaan
            ordonansi itu.  Berkat perjuangan Taman Siswa, undang-undang
            itu  akhirnya  dicabut  dan  dampaknya  menyatukan  semangat
            organisasi politik  untuk terus memperjuangkan  kebebasan

            (Ingleson, 1988: 226-230).
                   Kekhawatiran  pemerintah  kolonial  adalah  perluasan
            nasionalisme.  Meski masih dalam  lingkup lokal, organisasi
            BU  dipandang oleh orang-orang Belanda  yang berpikiran
            maju sebagai oosterse renaissance, atau renaissanse (kelahiran
            kembali)  di timur dengan sebutan “Si Molek telah bangun”.
            Namun, di pihak lain ada pandangan orang-orang Belanda

            konservatif yang menyebut lahirnya BU dengan istilah cukup
            sinis, yang menurutnya, “Orang Jawa banyak cingcong”.


            22      Gagasan Ki Hajar Dewantara
   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27