Page 7 - PIDATO SAMBUTAN KI HAJAR DEWANTARA
P. 7
unsur dari pada budi kesusilaan. Berpisahnya anak-anak dengan keluarganya berarti
kehilangan tuntutan ataupun pedoman untuk laku hidupnya dan membahayakan
keselamatan dan kebahagiaannya sebagai manusia yang Susila dan bertanggung-jawab. Tak
usah saya jelaskan di sini, bahwa menurut statistic secara modern dapat dibuktikan, bahwa
kejahatan-kejahatan kriminil sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang tidak
mempunyai hidup kekeluargaan dan atau berasal dari keluarga yang rusak kesusilaannya.
Semoga hal yang amat penting ini jangan dilupakan oleh pemimpin-pemimpin perguruan kita
di seluruh Indonesia.
Nasehat-nasehat serupa yang saya ucapkan itu adalah perlu, karena sudah sejak lama
rakyat kita boleh dikata keputusan tradisi. Kita tidak tahu lagi bagaimana sifat dan bentuk
serta isi, dan irama pendidikan dan pengajaran di jaman dahulu kala. Rakyat kita sekarang
berhasrat besar untuk mengadakan pembangunan, juga di lapangan kedudayaan dan
pendidikan. Saya peringatkan di sini, bahwa hingga sekarang kita kenal istilah-istilah yang
berhubungan dengan pemeliharaan pendidikan dan kebudayaan di jaman dulu. Pujangga-
pujangga kita dan Ki Dalang dari di bawah blencong hingga kini masih menceritrakan adanya
cantrik, cekel, mengunyu, jejanggan, malah sebutan-sebutan untuk student-student puteri,
seperti mentrik, sontrang, dahyang, bidang dan lain-lain. Pula nama-nama untuk guru-guru
besarnya, seperti: dwijawara, hajar, pendita, wiku, begawan dan sebagainya. Adanya istilah-
istilah itu membuktikan, bahwa di jaman dulu sudah pernah ada perguruan-perguruan luhuir,
dengan aturan-aturan tata-tertib yang berdiferensiasi, di mana terbukti para wanita
diperbolehkan mengikuti pelajaran di pawiyatan-pawiyatan luhur. (Barang tentu kita semua
tahu, bahwa di Nederland misalnya, di jaman serratus tahun yang lalu, kaum perempuan
dilarang untuk menjadi student. Dr. Aletta H. Jacobs marhum, yang pernah hidup di jaman
kita ini, adalah student perempuan yang untuk pertama kali diperbolehkan mengikuti
pelajaran tinggi, sampai menempuh ujian terakhir dan memperoleh derajat “medica”)
Yang saya utarakan ini adalah termasuk pengetahuan “spekulatif”, tetapi cukup
penting saya kira, untuk diselidiki secara ilmiah “positif” oleh para akhli sejarah dan
kebudayaan kita.
Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bansa kita tidak
keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinyu” dengan jaman yang lampau,
maka sistim pendidikan dan pengajaran di negeri kita, yang sekarang sudah menjadi negara
yang merdeka dan berdaulat, di jaman yang kita tempati sekarang ini, pasti akan mempunyai
bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang; mulai di Taman kanak-
kanak sampai di Universitas-universitas. Saya mengerti, bahwa bentuk, isi dan irama yang kita
dapati di jaman sekarang ini, baik yang menjadi milik badan-badan perguruan partikelir
maupun yang dipelihara oleh Kementerian PP dan K, pada umunya masih merupakan
“doordruk” (sekalipun doordruk yang sudah dikoreksi di sana-sini) dari sekolah-sekolah yang
terpakai dalam sistim Belanda. Malah kadang-kadang masih nampak juga, sekalipun suram-
suram, ….. yang materialistis dan . . . . . . kolonial.
6