Page 58 - e-book sungai musi
P. 58
Pembangunan sarana dan prasarana Kota Palembang yang
dilakukan kolonial pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan
kolonial. Misalnya, alun-alun selatan bekas Keraton Kuto Lamo yang
merupakan pusat Kota Palembang digunakan sebagai pusat
administrasi sekaligus sebagai simbol kekuasaan kolonial.
Pada zaman kolonial, membagi tempat tinggal berdasarkan ras
yakni orang Eropa, Timur Asing, dan Pribumi diberlakukan di kota
Palembang. Untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan yang
mendesak bagi orang Eropa di Palembang, maka pemerintah
Gemeente Palembang mengadakan pembangunan rumah agak ke
barat kota, yaitu di daerah Talang Semut yang jauh dari pemukiman
penduduk Pribumi. Kota dibagi dua, sebelah barat terdapat
pemukiman orang Eropa yang dibangun di atas timbunan rawa dan
tidak jauh dari kaki bukit. Sementara pada sebelah timurnya
pemukiman-pemukiman penduduk pribumi yang terdiri atas rumah
rakit dan rumah panggung yang berdiri di pinggiran sungai.
Pada masa ini pula Pemerintah Kolonial Belanda memberi izin
bagi penduduk yang tinggal di rumah rakit untuk menaikkan
rumahnya di atas daratan. Orang-orang Tionghoa, dengan kebijakan
ini, banyak yang membangun pertokoan di tanah daratan di pusat
perkotaan, umumnya di sekitar Sungai Tengkuruk, yang menjadi cikal
bakal Pasar 16 Ilir dan sekitar Sungai Sekanak yang menjadi cikal
bakal Pasar Sekanak.
Secara perlahan Pemerintah Kolonial Belanda mengubah
Palembang dari kota air menjadi kota daratan. Jalan sebagai urat nadi
transportasi dibangun di atas “tembokan”(timbunan) yang menimbun
sungai dengan menggunakan tanah puru dan kerikil.
Keraton Kuto Besak (yang sekarang dikenal dengan obyek
wisata Benteng Kuto Besak / BKB) berada terpisah dengan rumah
penduduk yang dibatasi oleh tembok-temboknya yang tinggi.
Bangunan keraton ini dikelilingi langsung oleh anak Sungai Musi,
yakni :
• di sebelah baratnya terdapat Sungai Sekanak,
SUNGAI MUSI; Jejak Perjalanan dan Pembangunan Berkelanjutan 29