Page 6 - Jalur Rempah.indd
P. 6
vi REMPAH, JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT NUSANTARA
membawa penguasa dinasti-dinasti di Tiongkok ini mengalami kemakmuran
dan menjadi semakin makmur karena mengembangkan kebijakan ekonomi
yang dilandasi oleh sikap yang toleran terhadap perdagangan internasional.
Meski dinasti di Tiongkok silih berganti kekuasaan, namun hubungan baik
dengan penguasa di nusantara selalu diteruskan dan dijaga. Bahkan dalam
perkembangannya hubungan perdagangan rempah dengan dinasti-dinasti
di Tiongkok berkembang ke arah hubungan diplomatik, keagamaan, dan
pendidikan. Sebagaimana dalam era tumbuhnya Sriwijaya di abad ketujuh dan
sembilan menjadi kekuatan maritim yang dominan di Indonesia bagian barat.
Kekuatan maritim Sriwijaya menjadi sangat menentukan karena kerajaan
ini menguasai jalur lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Ketika Sriwijaya
menjadi pusat pendidikan agama Buddha, banyak para bhiku Tiongkok tinggal
dan belajar di Universitas Swarnadwipa selama bertahun-tahun. Catatan
Tiongkok Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan (Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma
dari Lautan Selatan) yang ditulis oleh Yi Jing abad ke-7 M juga menjadi bukti
bahwa pendidikan di Suwarnadwipa tidak terbatas pada ilmu theology filsafat
Buddha, namun juga ilmu pengobatan (cikitsā vidyā) dengan menggunakan
ramuan rempah-rempah yang tumbuh di nusantara.
Rempah-rempah Kepulauan Indonesia semakin lama semakin dikenal
dunia. Setidaknya pada abad ke-7 M, pelayaran dan perdagangan dari Asia
Timur, Asia Selatan dan Asia Barat menuju nusantara berburu rempah bernilai
tinggi, seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, lada, gaharu, kamper
(dikenal dengan nama kapur barus), dan produk rempah lainnya. Cengkeh
dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, dan Ambon. Sedangkan
fuli (dari buah pala) banyak tumbuh di Pulau Run di Kepulauan Banda. Kayu
manis, kemenyan, kapur barus dari Sumatera dan Jawa, kayu cendana banyak
dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan lada banyak dihasilkan dari
Banten (Pulau Jawa), Pulau Sumatera, dan Kalimantan Selatan.
Sampai dengan abad ke enam belas dapat dikatakan rempah-rempah
belum menjalankan peran yang menentukan dalam perkembangan sejarah
Indonesia. Rempah-rempah memang diperdagangkan oleh beberapa kerajaan