Page 168 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan (z-lib.org)_Neat
P. 168

Kliwon seorang yang cerdas dan kadang-kadang pikirannya cen-
                 derung mengejutkan jika tidak bisa dianggap gila. Ia pernah mem bawa
                 tiga orang temannya ke tempat pelacuran, meniduri seorang pelacur se-
                 cara bergiliran. Awalnya pelacur itu menyuruh mereka naik tempat tidur
                 dua-dua, sebab katanya, ia punya lubang di depan dan belakang. Tapi tak
                 seorang pun mau berbagi lubang dengan tai, maka mereka menidurinya
                 satu per satu. Kliwon menampakkan di rinya sebagai seorang pemimpin
                 sejati, mempersilakan ketiga teman-temannya menyetubuhi perempuan
                 itu lebih dahulu, lalu ia memperoleh giliran terakhir. Ketika percintaan
                 itu selesai, si pelacur harus melihat pemandangan menyedihkan di mana
                 anak-anak itu menerjang pintu dan kabur tanpa membayar.
                    ”Aku tanya padanya, apakah ia suka bersetubuh dengan kami,” kata
                 Kliwon tak lama setelah itu, bercerita pada orang-orang di ke dai minum,
                 ”dan ia jawab suka.” Orang-orang sering bergerombol di sekitarnya untuk
                 men dengarkan ia bercerita dan ia melanjutkan: ”Karena ia suka dan
                 kami juga suka, jadi kenapa kami harus membayarnya?”
                    Ibunya, yang tak ingin mengulang apa pun yang terjadi pada suami-
                 nya, telah mencoba menjauhkannya dari ide-ide gila Marxis dan seje-
                 nisnya, dan cenderung tak peduli dengan apa pun yang ia lakukan asal-
                 kan ia tak jadi seorang komunis. Ia bahkan mengirimnya untuk pergi
                 ke bioskop, ke konser musik, membiarkannya mabuk di kedai minum,
                 membiarkannya membeli piringan hitam, dan senang belaka ia bisa
                 ber gaul dengan banyak gadis. Ia tahu banyak di antara gadis-gadis itu
                 ditiduri anaknya, atau minta ditiduri, tapi ia tak peduli. Baginya itu lebih
                 baik daripada suatu ketika ia harus me lihatnya berdiri di depan sederet
                 regu tembak yang akan meng ek se kusinya. ”Kalaupun ia jadi komunis,
                 ia harus jadi komunis yang ber bahagia,” kata si ibu. Perkawinannya
                 selama beberapa tahun de ngan seorang komunis, serta pergaulannya
                 dengan kamerad-kamerad lain, telah memberinya kesimpulan bahwa
                 orang komunis selalu murung dan tak berbahagia. Melewati zaman yang
                 susah, selama pen dudukan Jepang dan perang revolusi, ia membiarkan-
                 nya hidup dalam hura-hura yang nyaris tanpa ampun.
                    Di umurnya yang ketujuh belas, hidupnya sungguh-sungguh cemer-
                 lang untuk ukuran kota itu. Ia mengenakan pantalon dengan ujung pipa
                 melebar serta kemeja warna gelap dengan pantovel meng ilap oleh semir.

                                             161





        Cantik.indd   161                                                  1/19/12   2:33 PM
   163   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173