Page 227 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 227

206  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN


          dalam kasus masjid Palembang pada 1893. Dia mencela para syekh Sumatra
          Barat. Ahmad Khatib lahir di Kota Gadang dan terkenal sebagai pembuat
          onar  pada  masa  mudanya.  Dia  berbakat  dan  ambisius.  Kedatangannya  ke
          Mekah  bersama  adik  sepupunya,  Muhammad  Tahir  Jalal  al-Din  (1869–
          1956), menjadi awal karier masyhurnya. Menurut sejarawan Jeddah ‘Abd al-
          Jabbar, kakek Ahmad Khatib adalah seorang pemukim Salaf  dari Hijaz selama
          pendudukan Wahhabi yang pertama, dan ditunjuk sebagai khatib di masjid
          Kota Gadang.  Naik daunnya Ahmad Khatib sebagai seorang cendekiawan
                      7
          kemungkinan  besar  bermula  pada  akhir  1880-an,  menyusul  sebuah
          pernikahan yang menguntungkan dengan putri sahabat karib Syarif ‘Awn al-
          Raf q. Dia tidak menarik perhatian Snouck hingga 1893 ketika dia dimintai
          putusan dalam kasus masjid Palembang. Ahmad Khatib menyibukkan diri
          dengan mengutuk sistem waris tradisional di Sumatra Barat. Barangkali dia
          terkenal karena polemik-polemiknya menentang Khalidiyyah, yang mulai dia
          tulis sekitar masa yang sama ketika al-Fatani menanggapi Muhammad IV;
          yang mungkin hanya berjarak beberapa ratus meter darinya.
              Seperti  al-Fatani,  al-Minankabawi  menulis  sebagai  tanggapan  atas
          sebuah  pertanyaan  dari  salah  seorang  muridnya  mengenai  sebuah  tarekat
          yang aktif di kampung halaman “Jawi” sang murid. Tidak seperti fatwa al-
          Fatani, tanggapan Ahmad Khatib yang jauh lebih panjang tidak disimpan
          dekat dengan pusat istana.  Sebaliknya, Izhar zaghl al-kadhibin (Penjelasan
                                 8
          tentang Pemalsuan para Pendusta) karyanya dicetak di Padang pada Juni 1906
          disertai sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh para mufti Mekah Ba Busayl,
          ‘Abd al-Karim Daghistani, dan Syu‘ayb b. ‘Abd al-Karim al-Maghribi, dan
          dengan dukungan sekelompok ulama lokal. 9
              Buku  tersebut  menimbulkan  badai  di  kalangan  pengikut  Khalidi
          setempat. Di dalamnya, Ahmad Khatib mengkritik tajam Mawlana Khalid
          karena  mengenalkan  berbagai  inovasi  bidah,  terutama  rabita.  Untuk
          mendukung  pernyataannya,  dia  menggunakan  kumpulan  hadis  Nabi  dan
          tafsir  Al-Quran,  termasuk  karya  Syihab  al-Din  Mahmud  al-Alusi  (sekitar
          1802–sekitar 1853). Dia juga memanfaatkan teks-teks otoritatif karya para
          Suf  terdahulu dan berbagai buku panduan kaum Naqsyabandi yang lebih
          baru. Sumber itu meliputi buku-buku al-Suhrawardi dan al-Kumushkhanawi,
          dan sebuah teks yang disebutnya Fath al-rahman pada tarekat Naqsyabandiyya
          dan Qadiriyya, yang sebenarnya adalah Fath al-‘arif n karya Ahmad Khatib
          dari  Sambas.  Namun,  Ahmad  Khatib  yang  ini  menegaskan  bahwa  meski
          buku-buku  panduan  tersebut  menyajikan  beberapa  gagasan,  bersamanya
          ada pernyataan-pernyataan lain yang membuat rancu berbagai inovasi para
          guru belakangan dengan praktik ritual, mengambil otoritas mazhab-mazhab
          yuridis, dan mengklaim bahwa tarekat mereka sendiri memiliki hak untuk
          ditiru tanpa pertanyaan. 10
   222   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232