Page 234 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 234

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  213


                    Reaksi atas hal ini muncul tak lama kemudian di surat kabar lain, Utusan
               Melayu. Seorang pengirim surat yang gelisah dari Penang meminta dalil Al-
               Quran bagi sikap al-Imam mengenai praktik rabita, hadis, atau bahkan Sayr
               al-salikin karya al-Falimbani. Sang pengirim dari Penang lebih jauh mendesak
               masyarakat  untuk  meminta  nasihat  kepada  seorang  syekh  terpelajar  dari
               Mekah yang berkunjung ke Singapura bernama ‘Abdallah al-Zawawi. 28
                    Tanggapan  al-Imam—yang  pada  saat  bersamaan  menjawab  Tengku
               Muhammad  Jamil  dari  Serdang  yang  menanyakan  apakah  Al-Quran
               membenarkan  rabita—lebih  murka  daripada  sebelumnya.  Tanggapan  itu
               menegaskan  bahwa  Al-Quran  mengutuk  praktik  demikian.  Sang  penulis
               bahkan mengaku heran dengan penyebutan syekh al-Falimbani dan al-Zawawi:

                    [K]arena  dua  orang  ini  adalah  ulama  yang  diperhitungkan.  Karya-karyanya
                    menjelaskan persoalan-persoalan yang diturunkan dari Allah dan Nabi-Nya tanpa
                    satu pun dari mereka [mengambil] hak untuk mengubah atau menambahkan
                    pada agama sesuatu pun yang tidak termasuk darinya. Bagaimanapun, karena
                    kami percaya bahwa S.A. terbukti tidak mampu menunjukkan bukti semacam
                    itu,  bisakah  [kami  memohon]  dengan  rendah  hati  agar  Habib  [al-Zawawi]
                    membantunya? Namun, kami duga dia akan memilih menyimpan hal-hal itu
                    untuk dirinya sendiri karena Sayyid ‘Abdallah al-Zawawi merupakan salah satu
                    landasan al-Imam ... dan kami telah menyerap berbagai ajaran dan arahannya
                    dalam dada kami. 29

                    Pastinya  banyak  hal  yang  ingin  disimpan  al-Zawawi  untuk  dirinya
               sendiri.  Setelah  diusir  dari  Hijaz,  sahabat  Muhammad  b.  ‘Aqil  sekaligus
               Snouck Hurgronje ini mampu menggunakan berbagai koneksinya terdahulu
               untuk  memperoleh  tempat  berlindung  di  Hindia.  Al-Zawawi  berpindah-
               pindah secara rutin antara Riau, Pontianak, dan Batavia, tempat dia kerap
               mengunjungi Snouck Hurgronje, meski bukannya tanpa hambatan sesekali
               dari para pejabat pemerintah. 30
                    Masih tidak jelas apakah semua ini diketahui oleh seluruh editor al-
               Imam, yang usaha mereka semula dinyatakan sebagai usaha yang berguna oleh
               Sayyid ‘Utsman. Fakta bahwa sebuah tulisan dalam surat kabar ini mengenai
               para cendekiawan Barat yang telah menyusupi kota suci Mekah sama sekali
               tidak  menunjuk  Snouck  Hurgronje  atau  nama  aliasnya  ‘Abd  al-Ghaf ar
                                                           31
               menunjukkan  adanya  semacam  hubungan  positif.   Yang  juga  tidak  jelas
               adalah pandangan al-Zawawi mengenai Suf sme tarekat. Namun, kenyataan
               bahwa kunjungannya ke Riau pada 1893–94 mendorong penerbitan buku
               panduan mendiang ayahnya menunjukkan adanya komitmen berkelanjutan
               terhadap penafsiran yang lebih elitis terhadap Naqsyabandiyyah ketimbang
               penafsiran yang ditawarkan oleh para syekh Khalidiyyah atau Qadiriyyah wa-
               Naqsyabandiyyah.
   229   230   231   232   233   234   235   236   237   238   239