Page 272 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 272

PENGERASAN DAN PERPISAHAN  —  251


               telah mengubah sebuah bangsa padang pasir setengah liar menjadi bangsa
               yang menguasai dunia, dan menjawab tuduhan bahwa Islam melumpuhkan
               perempuan.  Jauh  lebih  banyak  ruang  dalam  Het  Licht  ditujukan  untuk
               membela yang oleh para editor dirasa sebagai agama yang banyak dif tnah,
               terutama dalam kaitannya dengan fatalisme yang dianggap dikandungnya.
               Seperti yang ditulis oleh seorang Tidar pada Juni 1926:

                    Orang  Islam  disebut  fatalis.  Wahai  betapa  sebuah  kata  yang  hebat!  Betapa
                    sebuah kesalahan yang besar! Mereka lupa bahwa fatalisme tidak berada dalam
                    Islam, tetapi dalam sang pribadi. Islam murni dan bebas dari fatalisme. Mereka
                    masih mengacaukan Islam dengan sisa Hinduisme. Ya, orang-orang ini tidak
                    ingin melihat Islam secara saksama. Mereka hanya tahu sedikit mengenai Islam,
                    dan itu pun dari orang non-Islam yang sepenuhnya dikenal sebagai Islamolog
                    seperti Snouck Hurgronje dan rekan-rekan. Orang-orang terpelajar ini tidak
                    mengetahui kebenaran mengenai Islam, meski menguasai bahasa Arab. 30

                    Lagi  pula,  seperti  yang  juga  dicatat  Tidar,  musuh  Nabi  adalah  para
               penutur  bahasa  Arab  yang  sempurna,  tetapi  mereka  pun  tidak  mengenal
               karakter Islam yang sebenarnya. Para pemeluk Islam bukanlah hamba siapa
               pun, seperti yang ditunjukkan oleh contoh orang-orang Turki dan Maroko.
               Namun, ini tak berarti bahwa orang-orang Islam elite memutuskan semua
               komunikasi  dengan  Belanda,  atau  bahkan  dengan  para  Islamolog.  Sebuah
               ulasan mengenai ulang tahun pertama Jong Islamieten Bond secara antusias
               mencatat kehadiran Penasihat untuk Urusan Pribumi yang diundang selain
               banyak asosiasi—termasuk Jong-Java, Jong-Sumatranen Bond, Jong-Ambon,
               Studie-Club “Indonesia”, Muhammadiyah, Partij Sarekat Islam, Jam’iyyat al-
               Khayr, dan Studie-fonds Kota Gedang—yang berkumpul untuk merayakan
               berbagai  usaha  mereka  untuk  memberikan  manfaat  bagi  “Indonesia  kita
               tercinta”. 31
                    Pada  1926  terdapat  partai-partai  yang  penting  di  panggung,  bukan
               sekadar  klub-klub.  Kelompok  komunis  dan  nasionalis  sekuler  perlahan-
               lahan  membangkitkan  harapan  rakyat  dan  memenangkan  bagian  terbesar
               dari perhatian mereka—dan, akibatnya, bagian terbesar pula dari perhatian
               pemerintah. Persidangan-persidangan pun digelar, dan mereka yang diputuskan
               bersalah melakukan penghasutan atau pelanggaran aturan sensor yang keras
               dipenjara  atau  diasingkan  ke  kamp-kamp  seperti  Boven  Digul,  di  Nugini
               Belanda.  Sedangkan  bagi  Islam  dan  pemerintah  Hindia,  kejutan  terbesar
               barangkali muncul setelah usaha pemberontakan Komunis di Sumatra Barat
               dan Banten pada 1926–27. Setelahnya, ratusan orang akan kembali dapat
               melaksanakan ibadah haji secara relatif aman. Dalam kasus pemberontakan
               Sumatra Barat, Schrieke dipanggil lagi dan, pada 1928, memberikan sebuah
               penilaian mengenai berbagai peristiwa ini. Namun, Mekah yang didatangi
   267   268   269   270   271   272   273   274   275   276   277