Page 49 - Sejarah Tamadun Islam 2
P. 49
syawāhid dan dalil maka tidak ada jalan untuk mempercayainya, atau dengan kata lain, bukan ilmu. Memang benar terkadang ilmu yang diperoleh melalui syawāhid akan menjadi kuat dan bertambah kekuatannya, hingga sampai di mana sesuatu yang diketahui itu seakan-akan menjadi sesuatu yang dapat dilihat, atau sesuatu yang gaib seakan-akan menjadi sesuatu yang tampak oleh mata, ilmu yakin seakan-akan seperti ‘ain al-yaqīn. Jadi, perkara ini terjadi melalui perasaan terlebih dahulu, kemudian beralih kepada kebarangkalian, kemudian dugaan, kemudian ilmu, kemudian ma‘rifah, kemudian ‘ilmu al-yaqīn, kemudian ḥaqq al-yaqīn, kemudian ‘ain al-yaqīn, hingga setiap tingkatan akan melebur kepada tingkatan yang lebih tinggi darinya. Yang mana pada tingkatan tersebut kendali hukum ada padanya, tanpa yang lain. Maka inilah yang benar.”24
Dari uraian definisi para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan yang sebenarnya dengan pasti atau yakin, baik dihasilkan secara empiris melalui penelitian yang akurat, ataupun dihasilkan dari informasi yang bersumber dari wahyu. Dengan demikian, ilmu mencakup hal-hal yang sifatnya empiris yang bisa diketahui melalui pancaindra, dan juga hal-hal yang sifatnya gaib seperti keyakinan adanya alam barzah, surga, neraka, dan lainnya.
24 Ibn Qayyim, Madārik al-Sālikīn baina Manāzil Iyyakana‘budu wa Iyyaka Nasta‘īn, Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī,1996, hlm. 399.
sejarah tamadun islam 2
35