Page 130 - Buku Paket Kelas 9 Agama Kristen
P. 130
122
Artikel
”Dalam realita, para orang yang ”mengalami kebutuhan khusus” di Indonesia memang bermacam-macam. Ada yang mengalami kebutaan, tuli, dan mengalami masalah anggota tubuh (tunanetra, tunarunggu, tunadaksa). Mereka yang mengalami tunadaksa misalnya karena kakinya diamputasi, sehingga tidak punya kaki, ada yang tidak memiliki tangan, bungkuk, anggota badan tidak utuh, dan lain-lain. Juga tarafnya tidak sama, misalnya masalahnya berat, tidak berat, dan ringan.
Para tunadaksa jumlah yang pasti memang kita tidak memilikinya. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) diperoleh data kasar bahwa yang mengalami tunadaksa di Asia khususnya di Indonesia kurang lebih 10%, atau sekitar 22 juta orang pada tahun 2007.
Misalnya, di Yogyakarta sesudah gempa bumi pada 27 Mei 2006 ternyata ada 8.122 orang tunadaksa yang masih bertahan hidup. Mereka kebanyakan dari yang memiliki tubuh utuh tiba-tiba mengalami tunadaksa. Jumlah ini merupakan separuh dari jumlah orang-orang yang berkebutuhan khusus di Yogyakarta yang berjumlah 16.000.
Memang di Indonesia banyak hukum dan undang-undang yang melindungi pribadi tunadaksa baik untuk aras nasional maupun internasional. Demikian juga adanya hukum dan sistem pendidikan nasional yang memberi tempat yang menyatakan bahwa pribadi dengan kebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan maupun pekerjaan. Sudah ditetapkan bahwa untuk 100 tenaga kerja, seharusnya ada satu orang yang berasal dari pribadi berkebutuhan khusus.
Sayangnya, dalam realita apabila orang melanggar hukum dan undang- undang tidak ada sanksi untuk mereka, misalnya perlu mempekerjakan satu orang berkebutuhan khusus diantara 100 pekerja yang ada. Pusat rehabilitasi juga sulit di jangkau terutama untuk orang-orang miskin. Misalnya, banyak orang tunadaksa yang masih hidup karena gempa bumi, namun tidak dapat menjangkau transportasi untuk pergi ke pusat fisioterapi, meskipun layanan fisioterapi tersebut gratis. Demikian juga pelayanan sosial yang mereka terima juga sangat minim.
Khususnya para penyandang tunadaksa yang hidup di Indonesia tidak pernah mudah. Meskipun demikian, gereja dengan bantuan para orang tua juga telah mempunyai inisiatif dan merealisasi perhatian dan kepeduliannya kepada para penyandang tunadaksa. Demikian juga para penyandang tunadaksa juga mempunyai organisasi untuk mengembangkan diri mereka yaitu Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI). Di Yogyakarta kita dapat
Kelas IX SMP