Page 173 - Buku Paket Kelas 11 Seni Budaya Semester 1
P. 173

          IKAH
(SENGIT) Tentu saja tidak!
FATIMAH
Lho! Kenapa tidak?
IKAH
Kedua pohon itu jelas berbeda! Beda sama sekali. Seperti langit dan bumi bedanya. Perasaanku tak tergerak sedikitpun oleh pohon mangga kalian yang tua dan pandir itu. Ia sama sekali tak membangkitkan ingatan apapun dalam kenang-kenanganku!
FATIMAH
Justru sebaliknya. Bagiku, pohon itu telah begitu banyak membangkitkan kenangan-kenangan masa kecil yang mengharukan, dan kenangan-kenangan itu begitu membahagiakan dan begitu mengesankan dalam kehidupanku kini. Setelah kita masing-masing dewasa dan mampu berdiri sendiri! Sungguh! Aku sungguh-sungguh tak bisa melupakan pohon mangga itu. Oleh karenanya, mari kita segera menjumpai pohon tua itu untuk mengucapkan selamat kepadanya. (DENGAN MENIRU GAYA IKAH) Kau tahu Ikah, di sini, di Jelambar, kami mempunyai sebuah kebiasaan lucu. Aduuuuuuh ... lucunya! Suatu kebiasaan yang sudah sangat, bahkan sangat tua sekali dan menyenangkan. Kami, orang-orang Jelambar yang kampungan ini, seringkali pergi mengunjungi pohon mangga yang tua dan pandir di belakang rumah ini. Semacam ziarah, katakanlah begitu. Dan itulah satu-satunya pohon mangga yang tumbuh di rumah ini, sejak Jelambar bernama Jelambar. Dan kami orang- orang Jelambar yang terkenal itu, menyebut pohon mangga tua dan pandir itu sebagai “pohon kita”. Dengan begitu, pohon itu telah menjadi lambang bagi kami, tentang Bibi Atang yang terkenal itu ...
IKAH
(MENYELA) Jangan sebodoh itu Fatimah! Kamu jangan menyama-nyamakan pohon kitamu itu dengan pohon kitaku!
OTONG
Perhatikan, siapa yang sedang bicara ini!
IKAH
(PUTUS ASA) Oh ... kalian sungguh-sungguh bebal. Kalian tak bisa mengerti sama sekali. Dan kalian tidak bisa menghargai perasaanku terhadap pohon itu ...
ANEN
Tentu saja tidak bisa Neng! Kami kan belum pernah ke New York!
IKAH
(SUNGGUH-SUNGGUH) Tepat! Justru itu sebabnya! Selama kalian belum pernah menginjakkan kaki-kaki kalian yang buruk itu ke bumi New York yang suci murni itu, selama itu pula kalian tidak akan, tidak akan mengerti nostalgia semacam itu. Sungguh ... ! percayalah padaku, kalian tidak akan pernah mengerti! Sebab, bagiku, tidak pernah menginjak persada New York, sama saja dengan tidak pernah hidup di dunia ini! Pohon kami yang di New York itu ... bukanlah sebuah permainan anak-anak, atau untuk olok- olok kekanak-kanakan!
   Seni Budaya 167
        















































































   171   172   173   174   175