Page 333 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 333
Pemerintah sebelumnya berkali-kali menyampaikan bahwa Omnibus Law bisa menjadi jawaban
atas regulasi yang banyak dan tumpang tindih mengenai investasi di Indonesia. Kehadiran beleid
itu diklaim dapat memacu investasi.
Saat menyampaikan pandangan dalam pengesahan RUU Cipta Kerja, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Airlangga Hartarto berujar bahwa iklim investasi akan lebih baik. Bahkan dia
mengklaim Indonesia bakal mengalahkan Vietnam maupun Myanmar.
Menurutnya, hingga saat ini ada 143 perusahaan yang siap melakukan relokasi pabrik ke
Indonesia. Sejumlah perusahaan itu berasal dari Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan,
Jepang, dan China.
Iming-iming yang ditawarkan pemerintah dalam UU tersebut adalah kemudahan investasi dalam
percepatan izin, penggunaan lahan, perlindungan hukum hingga insentif fiskal. Selain itu, ada
kemudahan untuk pendaftaran hak kekayaan intelektual dan kemudahan mendirikan perseroan
terbatas (PT).
Namun bagi pekerja, Omnibus Law Ciptaker adalah malapetaka. Yang paling diprotes adalah
status pekerja kontrak. Beleid lama yang mengatur batas waktu pekerja kontrak pada kelompok
usaha tertentu dihapus. Akibatnya, tidak ada batas waktu bagi pekerja bisa dikontrak.
Aturan lain yang diprotes adalah bobot pesangon. Apabila ada pemutusan hubungan kerja (PHK),
pemberi kerja menanggung 19 kali upah, sedangkan pemerintah menanggung 6 kali upah
melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang mencakup pelatihan kerja dan
penempatan kerja.
Dalam aturan sebelumnya, pekerja bisa mendapatkan 33 kali gaji dengan formula perhitungan
uang pesangon, masa kerja, dan persentase penghargaan pekerja dalam jumlah tertentu.
Setidaknya ada sembilan poin yang dinilai memberatkan bagi pekerja dalam aturan Omnibus
Law Ciptaker tersebut.
Meskipun RUU Cipta Kerja diklaim sebagai karpet merah bagi investasi, anggapan tersebut tidak
sepenuhnya benar. Beberapa pengamat menilai bahwa aturan tersebut justru menjebak
Indonesia masuk pada industri padat karya.
Hal ini tidak menguntungkan bagi Indonesia apabila ingin melakukan alih teknologi dengan
menjadi negara maju. Indonesia hanya akan menjadi negara penghasil produk padat karya.
Bahkan, akan turun kelas seperti Bangladesh, Nepal, dan Ethiopia yang menyasar industri tekstil,
pakaian jadi dan alas kaki.
Seharusnya, Indonesia bersaing dengan Malaysia dan China yang melakukan alih teknologi
menuju negara maju. Bukan hanya utak-atik masalah ketenagakerjaan, karena bila berkutat
masalah itu, kita hanya akan menjadi negara buruh.
332