Page 35 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 35

Praktis, ia melihat yang ada pemberian memberikan legalisasi, dekriminalisasi (perbuatan yang
              dianggap pidana, tetapi dianggap perilaku biasa) terhadap pebisnis yang selama ini merambah
              hutan. "Bagaimana kami mau menyetujui pengesahan undang-undnag ini," bebernya.

              Termasuk aturan klaster ketenagakerjaan di RUU ini disebutnya tidak mengakomodasi hak-hak
              pekerja.  Misalnya  kewajiban  pengusaha  membayar  pesangon  itu  sesuai  undang-undang  ek-
              sisting sebanyak 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji.

              Karena itu, ia menuding, ada pengusaha atau pebisnis yang memanfaatkan kondisi pandemi
              covid-19  ini.  Pengusaha-pengusaha  ini  berada  dalam  lingkaran  oligarki  kekuasaan.  Mereka
              berusaha mendesak pengesahan omnibus law cipta kerja ini. "Jangan atas nama covid-19 ke-
              mudianmemaksa pengesahan RUU ini," tegasnya.

              Liberal Kapitalis

              Sementara  itu,  pakar  sosiolog  hukum  Unhas,  Prof  Ir-wansyah  mengatakan,  Omnibus  Law
              Ciptaker merupakan undang-undangyang sangat liberal kapitalis. Aturan ini terlalu melonggarkan
              pihak  asing  dengan  alasan  investasi.  Hal  itu  memberi  kesan  sangat  transaksional  dan  bisa
              menjadi bomerang bagi pemerintah.

              Tidak sampai di situ, menurutnya, kebijakan omnibus law terlalu otoriter dan mirip gaya Orde
              Baru (Orba). Di mana kebijakan tersebut menarik hampir semua hak dan wewenang daerah.
              Sehingga semuanya terpusat di pusat "Kalau mau disimpulkan, kebijakan ini tidak transparan,
              liberalis  kapitalis,  transaksional,  otoritarian,  sentralistik  dan  tertutup.  Hanya  satu  kelebihan
              adalah pembahasannya cepat, tetapi itu salah dan terkesan dipaksakan," akunya.

              Guru besar Fakultas Hukum Unhas ini menilai pembukaan keran investasi yang terlalu besar dan
              pelonggaran aturan sangat berisiko. Hal itu bisa mengorbankan ekologi ekonomi yang berimbas
              pada daya beli masyarakat Investor asing diberikan karpet merah yang seluas luasnya.

              Undang-undang ini juga memiliki nilai moral atau kepedulian yang rendah. Di mana seharusnya
              pemerintah  fokus  dalam  penanganan  pandemi  Covid-19,  bukan  masalah  lain.  Sehingga  bisa
              dikatakan moral, formal, dan substansi undang-undang ini rendah.

              "Seharusnya revisi UU itu memberikan kepastian hukum, namun ini malah tidak. Kesimpulan
              utamanya adalah moral, formal, dan substansi yang kurang," ucapnya.

              Uji Materi
              Terpisah,  pakar  hukum  UMI,  Prof  Hambali  Thalib  mengatakan  salah  satu  cara  yang  bisa
              dilakukan uji materi di Mahkama Konstitusi (MK). Uji tersebut bisa dilakukan karena berkaitan
              dengan hajat hidup masyarakat "Ini adalah ujian untuk hati nurani MK Akan tetapi, syaratnya
              harus adayangka-wal," akunya.
              Guru besar Fakultas Hukum UMI ini menambahkan dalam UUD 1945 dikatakan perekonomian
              disusun sebagai usaha bersama ber-

              dasar atas asas kekeluargaan. Pasal 33 cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
              yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

              Bumi  dan  air  dan  kekayaan  alam  yang  terkandung  di  dalamnya  dikuasai  oleh  negara  dan
              dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

              "Perekonomian  nasional  diselenggarakan  berdasar  atas  demokrasi  ekonomi  dengan  prinsip
              kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
              dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional," ucapnya.


                                                           34
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40