Page 30 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 30
PEMERINTAH KLAIM SETOR RP6 TRILIUN
JAKARTA, FAJAR --- Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang dahulunya disebut Cipta
Lapangan Kerja (Cilaka) ternyata berimplikasi terhadap keuangan negara.
Minimal dari kebijakan itu, pemerintah harus menyetorkan Rp 6 triliun untuk menutupi program
jaminan kehilangan pekerjaan. Bagian dari pesangon yang dahulu sepenuhnya ditanggung
pengusaha.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto melontarkan kalimat yang
bemada menenangkan publik terhadap disahkannya undang-undang tersebut Padahal sejak
awal, BP Jaminanan Tenaga Kerja atau BP Jamsostek sendiri menuai masalah besar. Dari hal
investasi dan tidak meratanya perlindungan pekerjaan lantaranterkendaladalam penyetoran
iuran Jamsostek "Pemerintah menjamin kedudukan pekerja.
Ini (Rp6 triliun) sebagai Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berikan manfaat cash benefit
danpelatihanupskillingatau reskilling, serta akses informasi pasar tenaga kerja," terang ketua
umum Partai Golkar ini. Pernyataan Airlang-ga ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya dalam
undang-undang 13/ 2003 tentang ketenagakerjaan besaran pesangon PHK maksimal 32 kali gaji
sesuai masa kerja.
Ketua Umum Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(KORNAS MP BPJS), Hery Susanto kepada FAJAR Indonesia NetWork (FIN) menyebutkan,
sebelum ada jaminan kehilangan pekerjaan, seluruh pesangon ditanggung oleh pengusaha. Nah
ketika ini suplai kembali dari pemerintah, apakah dana segar Rp 6 triliun itu akan kembali
ditempatkan di BP Jamsostek.
"Kami berpikir, ini juga harus dipertimbangkan. Karena cepat atau lambat, gelombang PHK babak
kedua segera bergulir," jelasnya.
Dikatakannya, ada yang menyambut gembira disahkannya undang-undang ini Salah satu
alasannya, dampak ekonomi dari pandemi covid-19. "Tetapi, problemnya bukan itu. Sejak awal
memang ada problem yang sebenarnya harus cepat disikapi oleh pemerintah. Problem itu ada
di BP Jamsostek sendiri," terangnya.
Ia mencontohkan, imbal hasil kepada peserta Jaminan Hari Tua (JHT) yakni sebesar tujuh persen
(data bp-jstku 2020). Angka imbal hasil ini lebih tinggi sekitar dua persen dibandingkan rata-rata
bunga deposito bank pemerintah. Angka tersebut merupakan bentuk tanggung jawab BP
Jamsostek kepada pesertanya bukanlah tanggung jawab pihak perbankan.
"Kami sudah menyuarakan itu sejak lama.Tidak tepat jika direksi BP Jamsostek meminta bunga
tinggi ke BPD hingga sebesar lebih dari 7
persen untukmenempatkan dana investasinya, semisal ke Bank DKI. Bunga dari investasi dana
BP Jamsostek berupa penempatan deposito ke BPD dengan besaran sesuai BI rate itu sudah
bagus. BP Jamsostek jangan meminta bunga deposito terlalu tinggi hingga di atas 7 persen ke
BPD," paparnya.
Sebab, sambung dia, jika bunga terlalu tinggi hingga di atas 7% pihak BPD pasti akan
membebankan lebih besar lagi bunganya ke pihak debitur. "Dampaknya bisa memberatkan
debitur yang meminjam dana ke pihak BPD yang kebanyakan para ASN, UMKM dan lainnya,"
papamyayang dipertegas dalam pesan WhatsApp.
Kasus tidak adanya penempatan dana investasi BP Jamsostek ke Bank DKI pada semester 12020
ini menurutnya, merupakan tidak proporsional dan berkeadilannya direksi BP Jamsostek dalam
penempatan dana investasi ke BPD. Pemerintah harus menyetor modal awal Rp 6 triliun dari
29

