Page 18 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 17 SEPTEMBER 2020
P. 18
Inisiatif pemerintah ini patut diapresiasi, tapi program ini akan memunculkan sejumlah masalah
di tingkat penerapannya. Program ini berpotensi menimbulkan kecemburuan, terutama bagi
pekerja informal. Program Kartu Prakerja diperuntukkan bagi 5,6 juta penerima manfaat dengan
latar belakang pekerja formal maupun informal. Jumlah yang mereka terima lebih kecil
dibanding program subsidi gaji-
Menurut data BPJS Ketenagakerjaan per Maret 2020, peserta aktif didominasi oleh pekerja
formal dibanding pekerja informal. Hanya 2,7 juta pekerja informal yang menjadi peserta dari
total 31,9 juta peserta aktif. Pada Agustus lalu, jumlah pekerja informal meningkat menjadi 70
juta dan pekerja formal 56 juta orang. Pemerintah harus memastikan bahwa pekerja informal ini
menjadi prioritas utama penerima manfaat dari program subsidi gaji.
Ada pula masalah data. Sejumlah laporan dari serikat pekerja menyatakan bahwa sejumlah
perusahaan diduga sengaja tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS
Ketenagakerjaan atau hanya mendaftarkan mereka tapi tidak membayar iuran kepesertaan. Di
masa pandemi ini, kemungkinan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan kategori pekerja formal
cenderung banyak yang tidak aktif lantaran terkena PHK karena masa kontrak selesai maupun
produksi perusahaan menurun. Pekerja formal dalam kedua jenis ini berpotensi tidak mendapat
manfaat program subsidi gaji karena kepesertaan-
nya dianggap tidak aktif. Dalam hal ini, pemerintah harus menggunakan data lain sebagai
pembanding, yaitu data Kementerian Ketenagakerjaan, agar peserta BPJS Ketenagakerjaan yang
tidak aktif karena tidak mampu membayar iuran, terutama pekerja bukan penerima upah, juga
mendapat manfaat dari program subsidi gaji.
Masalah lain adalah konteks politik elektoral, terutama pemilihan kepala daerah yang sedang
berlangsung sekarang. Besarnya jumlah penerima manfaat dan alokasi anggaran akan membuat
program subsidi' gaji berpotensi digunakan sebagai instrumen oleh partai politik tertentu dan
atau inkumben untuk meraup suara dalam pemilihan pada Desember nanti.
Dalam wacana ilmu politik, strategi semacam ini dikategorikan sebagai politik distributif karena
memanfaatkan program pemerintah untuk kepentingan kelompok tertentu, seperti untuk meraih
kemenangan dalam pemilihan umum. Politik distributif cenderung menguntungkan partai
penguasa atau inkumben karena mereka ada kemungkinan memiliki kontrol secara eksklusif
dalam memanfaatkan program-program pemerintah. Untuk memitigasi penyalahgunaan
program ini, pemerintah harus melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kelompok
organisasi masyarakat sipil untuk mengawasi implementasi program ini. e
17