Page 222 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 OKTOBER 2021
P. 222
Ringkasan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan pemerintah tak
bisa menimbang kenaikan upah minimum 2022 menggunakan instrumen Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
INI TIDAK MAIN-MAIN, GEJOLAK BURUH SERENTAK JIKA KENAIKAN UPAH
MINIMUM 2022 KURANG DARI 7 PERSEN
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan pemerintah tak
bisa menimbang kenaikan upah minimum 2022 menggunakan instrumen Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Jika hal itu dilakukan, akan menimbulkan gejolak di lingkungan buruh. Ia menyebutkan hal itu
tidak bisa dilakukan pemerintah lantaran buruh sedang melayangkan gugatan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi terkait Undang-undang Cipta Kerja. Sehingga, penetapan kenaikan upah
minimum seharusnya menggunakan PP nomor 78/2015. "Kami minta UMK dinaikkan sebesar 7-
10 persen, tapi diabaikan dulu PP 36/2021 wong lagi digugat. Kalau buruh menang gimana? Apa
pengusaha mau membayar tambahannya?," tegasnya dalam keterangan resmi, Selasa
(26/10/2021).
"Kemudian kami lihat pemerintah kemenaker ini naiknya berapa kalau memakai rumus PP
36/2021 upah itu turun, berani gak pemerintah memutuskan, itu, kalau mau menimbulkan
gejolak di buruh, silakan saja, silakan putuskan,"tambahnya.
Kemudian, ia juga meminta pemerintah untuk menerapkan Upah Minimum Sektoral
Kota/Kabupaten (UMSK) dengan alasan yang serupa. Dengan adanya kekosongan aturan yang
sedang digugat ia mengembalikan penetapan upah seharusnya mengacu pada PP 78/2015.
Said memandang, Undang-undang nomor 11 tahun 2020 Omnibus Law Cipta Kerja khususnya
klaster ketenagakerjaan tak berpihak sama sekali kepada buruh. "Bagi kami ini adalah kejahatan
perburuhan negara lalai melindungi buruh baik buruh yang akan masuk pasar kerja, buruh
bekerja dan buruh yang akan mengakhiri kerjanya," katanya.
Dalam tuntutannya pada poin keempat, ia menuntut penerapan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
antara serikat buruh dengan manajemen perusahaan. Ia menyebut PKB ini setara dengan
undang-undang. "Nilainya menurut UU 13/2003 setara dengan undang-undang. Biar dijalankan
karena terikat dengan hukum perjanjian, PKB dibuat nilainya terutama kesejahteraan di atas
undang-undang yang normatif," katanya.
"Misal kalau upah minimum hanya untuk berlaku karyawan yang masa kerja satu tahun kebawah,
maka di PKB yang diatas 1 tahun keatas berapa upahnya bagaimana struktur secara upah,
hubungan kerja yang bekerja kontrak tetap, itu namanya PKB," tutur Said.
Ia turut menyinggung Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menurut informasi yang
didapatkannya akan melakukan reduksi terhadap PKB, menggunakan instrumen Omnibus Law
Cipta Kerja. "Bilamana di dalam kabupaten kota banyak perusahaan memaksakan kehendak
PKNB dengan omnibus, perintah kSPI mogok kerja kalau perlu ya se kabupaten kota, meluas
provinsi ya provinsi, ya kalau meluas nasional, kita akan mogok kerja nasional," katanya.
Kendati begitu, mogok kerja yang dimaksud berbeda landasan dengan ancaman mogok kerja
jika tuntutan kenaikan upah tidak dituruti pemerintah. Pada konteks itu, ia mengacu pada
undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang pelaksanaan demonstrasi. "Tapi kalau mogok kerja
221