Page 38 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 JULI 2021
P. 38
Indonesia, yang awalnya sudah bersiap merespons revolusi industri 4.0 dan mengembangkan
SDM cakap digital, kini harus memecah fokus. Antara memperbanyak industri yang berdaya saing
lewat digitalisasi dan menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja untuk masyarakat yang
belum cakap digital.
Dalam bincang-bincang secara daring dengan Kompas, akhir Juni 2021, Country Managing
Director Accenture Indonesia Kher Tean Chen menyoroti tantangan pelik yang dihadapi
Indonesia itu. Accenture, firma konsultan manajemen dan layanan teknologi global, telah bekerja
dengan berbagai perusahaan multinasional untuk adaptasi digital.
"Digitalisasi industri di Indonesia adalah isu yang sangat kompleks, manufakturnya masih sangat
basic dan ekosistem di sekitarnya pun belum komplet," ujar Kher Tean.
Industri manufaktur Indonesia masih didominasi usaha skala kecil dan menengah (IKM). Data
Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dari total 4,4 juta unit usaha industri nasional, 99,77
persen di antaranya skala IKM. Hanya 0,23 persen usaha yang termasuk industri besar.
Tenaga kerja pun lebih banyak terserap pada IKM, yakni 66,25 persen dari total 15,63 juta
angkatan kerja di industri manufaktur. Hanya 33,75 persen tenaga yang bekerja di industri
pengolahan skala besar. Alhasil, baru segelintir industri yang memanfaatkan teknologi digital,
internet, komputasi awan, dan big data untuk mengembangkan industri 4.0, seperti di sektor
makanan dan minuman.
Data Kemenperin, 70 persen pelaku makanan minuman skala besar baru beroperasi di level
industri 3.0 (otomasi dan teknologi komputerisasi) dan 30 persen sisanya masih memakai
teknologi industri 2.0 (produksi massal dan elektrifikasi). Menurut Kher Tean, pengembangan
industri 4.0 di Indonesia sebenarnya bisa bertumpu pada investasi baru yang saat ini gencar
disasar pemerintah. Namun, hal ini memunculkan kompleksitas mengingat angkatan kerja
sedang terdisrupsi dua hal, yakni akselerasi digital dan pandemi.
Investasi padat karya masih dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja dan menekan
pengangguran. Namun, di sisi lain, investasi padat modal dan teknologi diperlukan untuk
mendorong daya saing Indonesia di rantai pasok global.
Peta jalan
Di sini, perlu campur tangan pemerintah untuk membuat peta jalan industri yang terencana.
Sektor yang membutuhkan otomasi dan teknologi digital mutakhir perlu dibedakan dengan
sektor padat karya yang saat ini diperlukan untuk menyerap angkatan kerja, yang umumnya
masih berpendidikan rendah-menengah.
IKM tetap menjadi tulang punggung dan keunikan industri manufaktur di Indonesia. Namun,
bukan berarti mereka tetap jalan di tempat. Dengan skala pemanfaatan teknologi digital yang
berbeda dari usaha besar, IKM juga harus mulai beradaptasi dengan rantai pasok global yang
terdigitalisasi.
Seiring dengan itu, angkatan kerja juga harus dilatih agar lebih terampil dan siap menghadapi
perubahan industri. Kher menyoroti pentingnya aspek demokratisasi teknologi, di mana dunia
usaha dan industri harus meluangkan upaya dan sumber daya untuk melatih karyawannya
beradaptasi dengan dunia digital.
Terkait hal itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah sedang
mentransformasi balai latihan kerja yang terintegrasi industri untuk membekali SDM dengan
keterampilan yang relevan. "Perlindungan terbaik yang bisa kita siapkan untuk pekerja adalah
menyiapkan kompetensi mereka," ujarnya.
37