Page 611 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 AGUSTUS 2020
P. 611
Salah satu penyebab utamanya adalah penurunan konsumsi rumah tangga. Ekonomi Indonesia
memang cukup bergantung kepada pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga. BPS mencatat
konsumsi rumah tangga mengalami penurunan paling dalam pada kuartal kedua 2020 hingga
minus 5,51%.
Mengantisipasi situasi ini, pemerintah langsung bergerak untuk mendongkrak konsumsi rumah
tangga. Salah satu caranya dengan memberi subsidi upah pekerja dengan gaji di bawah Rp 5
juta. "Bantuan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan, bantuan akan langsung
diberikan per dua bulan ke rekening masing-masing pekerja sehingga tidak akan terjadi
penyalahgunaan," kata Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi
Nasional Erick Thohir dalam keterangan resminya pada pekan pertama Agustus lalu.
Ini berarti tiap pekerja akan dua kali menerima transfer dari pemerintah dengan nominal Rp 1,2
juta. Dengan demikian, total yang diterima tiap karyawan sebesar Rp 2,4 juta. Syarat penerima
subsidi ini merupakan pekerja harus aktif terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan dengan iuran Rp 150 ribu per bulan atau setara gaji di bawah Rp 5 juta
per bulan.
Secara teknis, data penerima bantuan subsidi upah ini diambil dari data BPJS Ketenagakerjaan
dengan batas waktu pengambilan data sampai dengan 30 Juni 2020. Dengan demikian, hanya
peserta yang telah terdaftar pada batas waktu tersebut dan memenuhi persyaratan yang berhak
sebagai penerima.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, program subsidi ini menelan biaya hingga
Rp 37,7 triliun. "Jumlah calon penerima ditingkatkan menjadi 15.725.232 orang yang semula
hanya 13.870.496 orang," kata Ida.
Meski bertujuan mendongkrak konsumsi, program pemerintah menyubsidi upah pekerja ini
kembali menuai kritik. Pasalnya, mengacu kepada data BPJS Ketenagakerjaan, maka program,
ini bisa menjadi tidak efektif. Sebabnya, data BPJS Ketanagakerjaan hanya mencatat pekerja
formal dengan upah di bawah Rp 5 juta. Sementara, pekerja informal banyak yang tidak terdaftar
di BPJS Ketenagakerjaan. Lalu, muncullah penilaian bahwa kebijakan itu diskriminatif.
Sudah menjadi rahasia umum, masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawan
mereka di BPJS Ketenagakerjaan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said
Iqbal menyebutkan, prinsipnya seluruh karyawan bergaji di bawah Rp 5 juta harus mendapatkan
bantuan dari pemerintah tanpa melihat melihat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau
tidak.
"Jadi negara tidak boleh melakukan diskriminasi," kata Said Iqbal. Apalagi, kata Said, karyawan
yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan bukanlah salah karyawan tersebut.
"Yang salah adalah pengusaha yang nakal, bukan buruhnya. Karena menurut UU BPJS, yang
wajib mendaftarkan buruh sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah pengusaha," kata Said
Iqbal lagi.
Tidak Adil Seperti Said Iqbal, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad juga punya penilaian yang
sama. Tidak adil jika pemerintah hanya memberi bantuan pada 15,7 juta pekerja yang terdaftar
di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal secara keseluruhan, jumlah buruh dan pegawai di Indonesia
mencapai 52,2 juta orang.
"Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan dan kenapa hanya peserta BPJS yang dijadikan dasar,
semua merasa berhak kalau konteksnya pekerja," ujar Tauhid.
Selain itu, jika hanya berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, bantuan subsidi upah berpotensi
salah sasaran. Soalnya, ada pengusaha yang mendaftarkan gaji pekerjanya sebatas upah
minimum biar iuran ke BP Jamsostek menjadi lebih kecil. Padahal, gaji sesungguhnya di atas Rp
610