Page 120 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 120

menang, aku akan menjadi penonton yang gembira. Begitulah,
               aku selalu bisa menjadi penonton yang gembira.
                   Dengan pikiran kotor kutatap Parang Jati. Kubayangkan
               ia  bersetubuh  dengan  pacarku.  Tapi  ia  sedang  berjongkok
               dengan wajah tak berdosa sambil melongok ke bawah, ke arah
               permukaan tebing. Ia sedang menaksir­naksir jalur. Gambaran
               erotis itu pudar ketika kusadari kembali kekalahan taruhanku.
               Aku masih tidak bisa mempercayai perubahan garis tanganku.
               Mana  mungkin  sejak  hari  ini  aku  tak  boleh  lagi  mengebor
               tebing? Tanpa pengaman emas buatan, mana mungkin Watu­
               gunung bisa dipanjat? Bagaimana hubunganku dengan gerom­
               bolanku kelak? Aku sungguh tak tahu apa yang akan terjadi di
               hari depan. Ah, aku masih punya harapan. Yaitu, agar Parang
               Jati  sendiri  yang  mengakui  kekalahannya  dan  mengatakan
               bahwa ia pun hanya bisa memanjat dengan bantuan bor, paku,
               atau piton. Lihat, aku tak perlu terlalu khawatir. Parang Jati
               sendiri  bukan  seorang  pemanjat.  Kecuali  bahwa  ia  berjari
               enam, tak ada tanda kelebihannya dari aku. Ia tampaknya ha­
               nya  naif  dan  idealis,  tak  tahu  betapa  sulitnya  pekerjaan  ini.
               Demikian  rencanaku:  aku  akan  membiarkan  diri  memanjat
               bersih berduet dengannya. Menuruti permintaannya. Hitung­
               hitung  masa  percobaan.  Dalam  masa  ini,  semoga  dia  sendiri
               menjadi insaf bahwa ia tak bisa melakukan itu. Aku yakin ia
               akan menyerah. Jadi, kujalani saja semua ini sampai saatnya
               ia sendiri bertobat dan masuk agama kami. Agama pemanjatan
               kotor.
                   Aku segera memanggil Parang Jati ke tonjolan batu tem­
               patku berdiri. Kutunjukkan padanya jalur retakan yang mung­
               kin  bisa  kami  gunakan.  Dalam  hati  aku  berkata  bahwa  aku
               berani  bertaruh  ia  tak  bisa  menempuhnya.  Kami  sama­sama
               berjongkok  menghadap  jurang,  membelakangi  lahan  berbatu
               dan ilalang. Perkemahan tak tampak dari sudut itu. Dari sudut


             110
   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124   125