Page 398 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 398

para pemanjat dari Bandung untuk memanjat tali dengan alat­
               naik bermerk “jumar”.
                   Sesaat kami berangkulan erat, sebelum ia melepaskannya
               dan berkata, “Entah kenapa, saya lagi sangat bahagia.”
                   Ia  bahagia  meskipun  kami  mendengar  dentum  ledakan
               di  kejauhan.  Sebab,  katanya,  ia  memiliki  harapan.  Ia  yakin
               apa  yang  disebutnya  dengan  “Strategi  Budaya”  akan  mampu
               menyelamatkan  kawasan  karst  ini.  Sama  seperti  kami  akan
               mampu memanjat bersih seluruh tinggi Watugunung ini dan
               memperkenalkan ajaran baru sacred climbing.
                   Entah kenapa, aku khawatir ia terlalu naif.
                   Tapi aku memang manusia yang skeptis.
                   Sesaat  kemudian  aku  melupakan  perdebatan  itu.  Sebab
               aku  tahu,  di  sinilah  lubang  angin  yang  menyiulkan  bunyi
               gaib itu bersemayam. Dari sinilah lolongan serigala­manusia­
               jantan­betina itu berasal.
                   Seperti  kau  tahu,  di  pusat  gempa  yang  ada  adalah  ke­
               hampaan.
                   Kucari  dia.  Pada  cadas  yang  berbongkah­bongkah  itu
               kutemukan mereka. Liang­liang angin yang selama ini kutero­
               pong  dari  jauh.  Lorong­lorong  bagi  kawanan  anjing  purba
               untuk muncul dari dalam tebing dan menyingkapkan lagu dari
               masa silam. Salah satunya lebih besar daripada yang lain. Ia
               terletak  lebih  tinggi  sedikit  dari  kepalaku  jika  aku  berdiri  di
               teras itu. Aku bersyukur bahwa Parang Jati bukan memasang
               tali pengaman di sana. Sebab aku diam­diam menghormatinya.
               Ah.  Akhirnya  aku  bertemu  muka  dengan  muka  dengan  dia,
               yang  meniupkan  ke  dalam  telingaku  sebuah  bunyi  rahasia.
               Meskipun  liang  itu  kini  tampak  begitu  banal.  Seperti  organ
               tubuh tanpa ruh. Kerongkongan tanpa suara.
                   Kau tahu, di pusat gempa yang ada adalah kekosongan.
                   Rasanya  sudah  saatnya  kuceritakan  ini  semua  pada  Pa­
               rang Jati. Apa yang kualami dengan nyanyian­nyanyian yang


            3
   393   394   395   396   397   398   399   400   401   402   403