Page 29 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 29

perempuan  merupakan  kelanjutan  dari  sistem  eksploitasi  yang  bersifat

                           struktural. Oleh karena itu, mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-
                           laki  sebagai  permasalahan,  namun  sistem  kapitalisme  yang  sesungguhnya

                           merupakan penyebab masalahnya.

                        3.  Feminisme Sosialis
                           Sebagai  kelompok  ketiga  penganut  teori  konflik,  feminisme  sosialis  (Jaggar,

                           1983) melakukan sintesis antara metode historis materialis Marx dan Engels
                           dengan gagasan personal is political dari kaum feminis radikal. Bagi banyak

                           kalangan  aliran  ini  dianggap  lebih  memiliki  harapan  di  masa  depan  karena

                           analisis yang mereka tawarkan lebih dapat diterapkan oleh umumnya gerakan
                           perempuan.  Bagi  feminisme  sosialis  penindasan  perempuan  terjadi  di  kelas

                           mana  pun,  bahkan  revolusi  sosialis  ternyata  tidak  serta  menaikkan  posisi
                           perempuan. Atas dasar itu mereka menolak visi Marxis klasik yang meletakkan

                           eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme
                           tanpa  kesadaran  kelas  juga  menimbulkan  masalah.  Oleh  karena  itu,  analisis

                           patriarki  perlu  dikawinkan  dengan  analisis  kelas.  Dengan  demikian  kritik

                           terhadap eksploitasi dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama
                           dengan  disertai  kritik  ketidakadilan  gender  yang  mengakibatkan  dominasi,

                           subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan.
                             Banyak karya sastra perempuan Indonesia di masa lalu luput dari pengamatan

                        kritikus.  Banyak  karya  sastra  perempuan  tidak  muncul  dalam  sejarah  sastra

                        Indonesia. Meskipun para pengarang perempuan pada awal kesusastraan Indonesia
                        modern  cukup  sedikit,  namun  karya-karya  mereka  jarang  disinggung  oleh  para

                        kritikus.  Kaum  perempuan  pada  saat  itu  seakan  kurang  produktif  dalam
                        perkembangan dunia sastra. Kalaupun ada karya-karya di antara mereka, hal itu

                        jarang disebut atau dituliskan dalam sejarah sastra Indonesia. Hanya keberadaan

                        para kritikus laki-laki yang produktif di masa lalu yang menyebabkan karya sastra
                        dari  para  pengarang  laki-laki  lebih  banyak  dibicarakan  dan  dikenali  sepanjang

                        sejarah kesusastraan Indonesia. Karena itu, karya sastra laki-laki yang diketahui









                                                                                                     24
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34