Page 162 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 162
Pengayaan Materi Sejarah
pemerintahan interim dengan batas waktu penyerahan kedaulatan
kepada Negara Indonesia Serikat. Selain itu DK PBB juga mengganti KTN
dengan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) yang diberi
wewenang lebih luas dibanding KTN.
Setelah DK PBB mengeluarkan resolusi, Ide Anak Agung Gde
Agung dan R.T. Djumhana Wiraatmadja (pengganti Adil Puradiredja)
memelopori gerakan mengubah kebijakan politik BFO, yakni menolak
kerja sama dengan Belanda untuk membentuk pemerintah interim.
Sebaliknya, keduanya bekerjasama untuk membentuk Negara Indonesia
Serikat, meski kubu lain yaitu Sultan Hamid II dan dr T. Mansur bertekad
untuk mempertahankan garis kebijakan lama (kerja sama dengan
Belanda). Dengan demikian BFO menghadapi dua tantangan yakni dari
luar dan dari alam BFO sendiri. Tantangan dari luar berasal dari Belanda,
khususnya Dr. L.J.M. Beel pengganti Van Mook dengan pangkat Hoge
Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) di Jakarta.
Beel menolak resolusi PBB dan menyusun rencananya sendiri yang
dikenal dengan “Rencana Beel”.
“Rencana Beel” bertujuan membentuk pemerintahan interim
melalui sebuah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang
dihadiri oleh para pejabat Indonesia dan Belanda. Namun Beel tidak
menyetujui apabila Soekarno dan Hatta hadir sebagai Presiden dan
Wakil Presiden RI. Ia tidak bersedia memulihkan kembali kekuasaan
mereka di Yogyakarta, karena ia menganggap RI sudah tidak ada lagi,
Namun para petinggi RI itu diharapkan hadir di Den Haag sebagai
perorangan saja. Pemerintah interim direncanakan akan berakhir
dengan penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat. Selain
itu, Beel menganggap bahwa masalah Indonesia sebagai masalah intern
Belanda sehingga ia tidak menghendaki campur tangan UNCI. Rencana
Beel tersebut menjadi ancaman bagi sebagian anggota BFO yang
cenderung menghendaki ikut sertanya Sukarno dan Hatta sebagai
pemimpin RI.
Ancaman yang dihadapi BFO dari dalam adalah bahaya
perpecahan yangmana hal ini sebenarnya telah terjadi sejak
pembentukannya di Bandung pada Juli 1948. Blok Anak Agung
menginginkan kerja sama dengan para pemimpin RI dan bersama sama
membentuk tatanan politik baru menggantikan Hindia Belanda. Sedang
Blok Sultan Hamid II memihak pada Van Mook (kemudian diganti Beel)
150