Page 11 - Grafis Islam 05-Islam, Dialog Toleransi, Kebangsaan
P. 11
Ujar
Editor
Buku Islam, Dialog Toleransi, Kebangsaan ini menghadirkan pembahasan tentang dua poin
penting yang terkait dengan sejumlah isu di sekitar keterlibatan kaum Muslim dalam
proses pembentukan dan perkembangan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa
(nation-state).
Poin pertama, yang bersifat historis, membahas secara detail suatu proses sejarah
ketika tokoh-tokoh Muslim mulai berbicara tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa
dan kemudian bergerak dalam rangka meraih kemerdekaan. Berawal dari mereka yang
berafiliasi dengan, dan sekaligus elite dari organisasi pergerakan Islam (Sarekat Islam
[SI], Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama [NU], Persatuan Islam [Persis], dan organisasi
Islam yang menyusul berdiri di sejumlah daerah), tokoh-tokoh Muslim terlibat secara
intensif dalam memberikan argumen Islam untuk memasuki satu era baru yang disebut
pergerakan. Selain menyuarakan kemajuan bagi kaum Muslim, tokoh-tokoh Muslim
mulai diskusi tentang isu antara lain Islam dan nasionalisme, dan juga ideologi lain yang
berkembang di Tanah Air.
Proses diskusi ini terus berlanjut pada era menjelang kemerdekaan Indonesia. Didukung
sikap politiknya yang "menghormati Islam", pemerintah pendudukan Jepang memberi
ruang bagi tokoh Muslim Indonesia untuk duduk dalam kepanitiaan dalam rangka
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sejak itu, Islam tampil sebagai satu kekuatan
politik melalui keterlibatan sejumlah tokohnya dalam proses-proses politik untuk
perumusan Indonesia sebagai sebuah bangsa hingga pembangunan Indonesia modern.
Dalam hal ini, satu hal penting untuk ditekankan adalah bahwa Islam telah memberi
kontribusi sangat berarti dalam tahap-tahap penting proses Indonesia menjadi sebuah
negara-bangsa, yang mengatasi berbagai entitas etnis, agama, kedaerahan, dan isu-isu
primordial lainnya.
Poin kedua, yang lebih bersifat sosiologis, menjelaskan Islam dan kebangsaan dari
inisiatif dan kontribusi signifikan tokoh-tokoh Muslim dalam menciptakan salah satu
pilar penting dari kondisi kebangsaan, yakni kerukunan umat beragama. Dalam hal ini,
sejumlah tokoh dibahas, terutama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid
(Cak Nur), yang memang menjadi tokoh terdepan dalam menyuarakan kerukunan agama,
toleransi dan pluralisme. Selain itu, sejumlah tradisi yang berkembang di masyarakat
yang menjunjung tinggi kerukunan beragama (sebagai kebijaksanaan lokal), yang juga
menjadi perhatian aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, juga menjadi satu subjek
Literasi Nasional penting pembahasan buku ini.
Dengan semua pembahasan tersebut, kehadiran buku menambah khazanah
pengetahuan kita tentang satu isu sangat sentral dalam kehidupan sosial-politik
Indonesia, yakni kesediaan kaum Muslim hidup sebagai warga negara (citizens) dari
negara-bangsa Indonesia, di atas ikatan-ikatan suku dan agama. Hal itu menjadi modal
viii sangat berharga bagi konsolidasi demokrasi di negera kita tercinta ini.
Jajat Burhanudin
Kasijanto Sastrodinomo