Page 5 - Wayang Kulit-Nadia Shelly X AKL
P. 5

akronim ngudhal piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau menyebar luaskan
               dan piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi keberadaan dalang dalam
               pertunjukan wayang kulit bukan saja pada aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi
               juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping menguasai teknik pedalangan sebagai
               aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang berpengetahuan luas dan mampu
               memberikan pengaruh baik pada permainan tersebut.
               Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara
               lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya
               Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), almarhum Ki Timbul Hadi
               Prayitno (Yogyakarta), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Yogyakarta), Ki
               Soeparman (gaya Yogyakarta), Ki Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb
               Soedharsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono, Ki Agus Wiranto, almarhum Ki Suleman
               (gaya Jawa Timur), almarhum Ki Sugino Siswocarito (gaya Banyumas). Sedangkan
               pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.



               Sejarah Wayang Kulit dan Kebudayaan Hindu Budha

               Sejarah wayang kulit tidak terlepas dari sejarah kesenian wayang secara umum. Bila
               dilihat dari catatan sejarah, belum ada bukti konkret tentang adanya kebudayaan
               wayang sebelum abad pertama. Hal ini bertepatan dengan masuknya budaya Hindu dan
               Budha ke Asia Tenggara. Hipotesis ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa seni
               pertunjukan wayang kulit mayoritas mengangkat cerita Ramayana dan Mahabarata.
               Walaupun itu juga bukan merupakan standard yang bisa mengikat dalang. Karena
               dalam setiap pertunjukannya dalang boleh saja membuat pertunjukan dari lakon
               carangan (gubahan).


               Jivan Pani, seorang budayawan terkemuka disana, pernah mengeluarkan pendapat
               bahwa wayang berkembang dari dua jenis seni . Kesenian ini berasal dari Odisha, India
               Timur, yaitu Ravana Chhaya yang merupakan sebuah teater boneka dan tarian Chhau.
               Dari sini berkembang hipotesis baru, bahwa akulturasi kebudayaan India atau Tiongkok
               adalah hal yang menciptakan kesenian wayang di indonesia. Karena kedua negara
               ini memiliki tradisi yang telah berjalan turun-temurun tentang penggunaan bayangan
               boneka atau pertunjukan teater secara keseluruhan.



               Wayang Kulit di Zaman Kerajaan


               Bukti konkret pertama yang ditemukan membahas mengenai kesenian wayang
               berbentuk sebuah catatan. Catatan ini mengacu pada sebuah prasasti yang bisa dilacak
               berasal dari tahun 930. Prasasti tersebut menyebutkan tentang si Galigi
               mawayang. Galigi yang dimaksud disini adalah seorang dalang dalam pertunjukan
               wayang kulit. Sesuai dengan isi kitab  “Kakawin Arjunawiwaha” buatan Empu Kanwa,
               pada tahun 1035. Dideskripsikan bahwa sosok si Galigi adalah seorang yang cepat, dan
   1   2   3   4   5   6   7