Page 54 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 19 DESEMBER 2018
P. 54
Tidak aneh, kemudian sebagian dari mereka masih berpikir jika mogok narik akan bisa
menekan pihak penyedia platform. Mereka menganggap pendapatan utama penyedia
platform adalah dari biaya sewa yang dibayarkan penumpang. Jadi, anggapan mereka, jika
tarif dinaikkan, seharusnya penyedia platform juga akan senang. Namun, mengapa justru
tarif masih saja ditahan di bawah, tak dinaikkan, bahkan bonus kepada penumpang terus
diberikan.
Para pengemudi itu tak paham, justru jika sewa tetap murah dan banyak bonus, akan
menguntungkan penyedia platform. Tarif murah akan menjadi daya tarik bagi konsumen,
baik pengguna baru maupun lama. Pendapatan dari tarif yang dibayarkan penumpang
sekali lagi hanya recehan dan bukan sumber dana utama untuk pengembangan bisnis.
Sumber dana utama penyedia platform adalah dari para investornya. Ada banyak investor
yang beberapa di antaranya bahkan sampai kasih guyuran hingga belasan triliun rupiah.
Wow! Potensi bisnis dari kepemilikan data pengguna aplikasi yang dimiliki penyedia
platformlah yang membuat para investor tak segan mengguyurkan dana besar.
Tentu ini berkebalikan dengan harapan dan bayangan para pengemudi. Mereka butuh
kenaikan tarif karena akan bisa menaikkan pendapatan. Keliling-keliling kota seharian bawa
penumpang, bahkan ada yang mulai dari pagi hingga mau pagi lagi, pendapatan mestinya
juga sepadan. Apalagi dari pendapatan ngojek itu, mereka juga harus bayar cicilan motor
atau mobil LCGC yang dipakai narik. Belum lagi kebutuhan keluarga yang tentu tak sedikit.
Inilah mengapa kita bisa sebut mereka bermitra namun sebenarnya " tak seiring sejalan".
Ketiga, belum ada regulasi yang mengatur model hubungan kerja dengan latar belakang
model bisnis yang beginian. Keberadaan perusahaan rintisan sudah sejak beberapa tahun
lalu. Begitu juga dengan kemunculan bisnis transportasi daring yang kini sudah merambah
ratusan kota, termasuk ke kota-kota kecil dan akan terus meluas. Puluhan kali unjuk rasa
para pengemudi juga sudah terjadi, belum lagi perselisihan antarpengemudi ojek/taksi
daring dengan pengemudi konvensional.
Soal regulasi yang pas untuk mengatur bisnis transportasi digital juga terjadi kebingungan
di pemerintah sendiri. Siapa sesungguhnya yang benar-benar paling tepat menanganinya,
apakah Kementerian Perhubungan atau Kementerian Komunikasi dan Informatika? Jika kita
masih ingat, di awal-awal kemunculan polemik atas keberadaan transportasi daring, pihak
penyedia platform jelas mengatakan mereka bukan perusahaan transportasi. Mereka
perusahaan digital.
Hubungan antara mereka hanya kemitraan. Pengemudi tidak terikat jam kerja dan bahkan
tidak pula dikenakan target setoran. Jelas berbeda dengan sopir angkot atau taksi model
lawas. Mobil atau motor juga bukan milik penyedia platform. Model atau tipe mobil atau
motor juga terserah pengemudinya. Namun jelas, aturan main dalam kemitraan ini dibuat
sesimpel mungkin sehingga bisa menghindarkan penyedia platform menjadi perusahaan
transportasi.
Transparansi Model Bisnis
Lalu, apa solusi atas persoalan yang ada? Karena jelas posisi para pengemudi itu jauh di
bawah penyedia platform, maka sepantasnya mereka tak ditekan lebih dalam lagi. Pihak
penyedia platform sepantasnya mengalah untuk memberikan penjelasan mengenai bisnis
mereka, pastikan setiap pengemudi memahaminya.
Page 53 of 139.