Page 137 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 137
Keistimewan Yogyakarta
logika di atas tidak menemukan akarnya ketika parlemen
dibentuk pada tahun 1946 oleh KNI Daerah. Islam, sekalipun
sebagai agama mayoritas, tidak menjadi logika dasar dalam
pembentukan parlemen Yogyakarta, sekalipun sistemnya
proporsional dimana Islam diwakili dalam wadah Masyumi
dengan menempatkan wakil terbanyak, akan tetapi, logika
pembentukan parlemen oleh KNI Daerah berdasarkan pada
aliran-aliran dan kelompok yang ada di masyarakat, termasuk
unsur organisasi dan partai plitik.
Akan tetapi, anggota parlemen di atas tidak menunjukkan
hasil kerja apapun, karena setelah peristiwa Madiun, parlemen
tidak pernah berkumpul untuk membahas situasi kekinian dan
kerja-kerja keparlemenan. Artinya sekalipun jumlah anggota
ditambah dari 60 menjadi 70, mereka tetap tidak meng-
hasilkan produk-produk yang bisa digunakan oleh Dewan
Pemerintah Daerah (eksekutif). Oleh karena itu, keberadaan
anggota parlemen yang besar itu hanya sebagai simbol semata.
Satu-satunya jabatan fungsional yang berjalan adalah Dewan
Pemerintahan Daerah di bawah komando Paku Alam VIII,
sekalipun jabatan itu lebih pada simbolis, karena yang dilihat
oleh publik adalah sosoknya sebagai raja dan wakil dari Sul-
tan HB IX.
Hal lain yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah
munculnya partai-partai politik dan organisasi sosial pada
periode revolusi, khususnya Yogyakarta. Tabel di bawah ini
bisa menunjukkan letak strategis Yogyakarta karena selalu
menjadi tempat bersejarah tentang berdirinya partai politik
dan pusat pertemuan-pertemuan. Yogyakarta ditempatkan
sebagai pusat dari pergulatan politik di Indonesia, khususnya
pada periode tersebut.
114

