Page 68 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 68
GERAKAN AGRARIA TRANSNASIONAL
kembali selama rezim transisi pada tahun 1998 dari
pemerintahan otoriter yang terpusat. Diskusi tentang kelas
di antara aktivis di Indonesia umumnya dilakukan secara
implisit, tapi tuntutan bahwa tanah harus dibagikan
kepada petani miskin tak bertanah dan buruh pedesaan,
mendapatkan kembali tanah dari perusahaan besar, dan
sebagainya—-jelas menunjukkan tentang analisa yang
berorientasi kepada kelas. Sementara itu, gerakan
konservasi telah terbagi dalam garis kelas mengenai
redistribusi tanah dalam taman nasional dan kawasan
konservasi lainnya. Namun, pergeseran aliansi yang
ambigu antara berbagai komponen gerakan ini membuat
sulit untuk menentukan perbedaan-perbedaan yang jelas
atau semata-mata berdasarkan kelas.
Sementara para pemimpin gerakan dan sekutu
mereka hampir tidak mempertimbangkan pembagian kelas
dan perjuangan di antara isu-isu favorit mereka dan mereka
memang jarang berbicara secara terbuka, sesungguhnya
kenyataan yang ada dalam gerakan-gerakan agraria
transnasional dan dalam organisasi anggota nasional
mereka menunjuk pada pentingnya kelas sebagai isu kritis.
Beberapa pemimpin jaringan transnasional ini mungkin,
bagaimanapun, kadang mengakui karakter kelas gerakan
transnasional. João Pedro Stédile, misalnya, baru-baru ini
menegaskan bahwa “MST [Brasil] dan Via Campesina,
terutama, bekerja dengan teori gelombang atau siklus
perjuangan kelas’ (Stédile 2007, 194). Bahwa hal ini
mungkin menjadi kontroversial atau menjadi klaim yang
sulit untuk anggota organisasi Via Campesina di negara lain
(lihat di bawah), poin utama Stedile adalah bahwa petani,
tidak hanya di Brazil dan dengan kelas pekerja yang
teroganisir di sana dan di tempat lain, telah berada di garis
depan perjuangan anti-neoliberal dan anti-imperialis (lihat
diskusi yang relavan oleh Petras dan Veltmeyer 2003). Isu
54

