Page 102 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 102

M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.

                            “Ketika kami memasuki ruangan, seorang tentara berpangkat
                            Kolonel duduk di ujung ruangan di belakang meja Presiden
                            Direktur. Sambil tersenyum pamen itu berdiri menyambut kami
                            dan menyebutkan namanya: Soebekti (Kolonel Soebekti). Ia
                            memberi tahu bahwa mulai hari itu ia ditugaskan sebagai Presiden
                            Direktur PN Barata.  Dalam hati aku bertanya, mengapa mesti
                            tentara lagi yang dijadikan Presiden Direktur? Namun karena
                            caranya memperkenalkan  diri  cukup  simpatik, aku  dapat
                            menerimanya  dan  memutuskan  untuk  bekerjasama....”
                            (Soepardjan, 2004).
                            Perintah Nasution  langsung  menugaskan  kepada
                        beberapa personelnya untuk  duduk sebagai  Presiden
                        Direktur pada perusahaan-perusahaan yang sudah diambil
                        alih oleh para buruh. Tentu saja semua tergantung bagai-
                        mana tentara mengelola atau memenej sebuah perusa-
                        haan.  Pada kasus perusahaan  PN Barata, Kol.  Soebekti
                        dianggap simpatik pada buruh dan berusaha bekerja sama
                        dengan para buruh untuk menyelamatkan kondisi peru-
                        sahaan  yang  nyaris  bangkrut  karena  kas  perusahaan
                        kosong ketika terjadi pengambilalihan. Menariknya, Kol.
                        Soebekti kemudian justru ditarik kembali ke Jakarta pada
                        saat perusahaan perlahan mulai normal akibat intrik di
                        dalam Angkatan Darat itu sendiri (Soepardjan, 2004).
                            Di Jawa, dalam tempo yang tidak terlalu lama, terjadi
                        pengambilalihan  aset-aset  Belanda  di  Indonesia  atas
                        berbagai  badan usaha, sehingga banyak  menimbulkan
                        kekisruhan. Hal itu terjadi karena massa yang  responsif
                        terhadap kondisi politik dan perekonomian nasional yang
                        uncontrol. Kurang lebih dua setengah tahun kemudian lahir
                        UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan
                        Belanda  (Desember 1958), padahal pada bulan Oktober

                         66
   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107