Page 94 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 94
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
Konferensi Meja Bundar tahun 1949 menyisakan satu
persoalan terkait dengan Irian Barat. Ini bukan berarti
kesepakatan selain Irian Barat tidak menimbulkan perso-
alan di dalam negeri. Faktanya justru protes dan keka-
cauan atas kesepakatan itu terus berkepanjangan. Dalam
dokumen “Kata Sepakat”, Irian akan dibahas lebih lanjut
setelah penyerahan kedaulatan Indonesia secara resmi
oleh Belanda, namun pada kenyataannya, perundingan
itu mengalami kebuntuan dan gagal menemukan titik
temu. Poin kegagalannya karena Belanda menganggap
Irian tidak terlibat dalam revolusi Indonesia dan bukan
bagian dari wilayah revolusi Indonesia (Bertrand, 2003).
Karena buntu dalam menemukan kata sepakat, secara
“sepihak” Sukarno memutuskan untuk menghadapi Be-
landa dengan cara frontal yakni membatalkan perjanjian
KMB 1949. Keputusan Sukarno kemudian ditegaskan oleh
Kabinet Ali Sastro Amidjojo II dengan membatalkan
perjanjian Indonesia-Belanda secara unilateral, meskipun
tetap diupayakan perdamaian lewat PBB walaupun tetap
gagal untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam pang-
kuan RI saat PBB bersidang pada November 1957. Kega-
galan resolusi PBB inilah sebagai salah satu faktor le-
dakan radikalisme anti Belanda yang dikobarkan lang-
sung oleh Sukarno. Dampak dari gerakan anti Belanda
menyasar pada banyak hal, termasuk budaya, bahasa dan
semua peninggalan yang berbau Belanda.
Atas sikap Sukarno yang frontal terhadap Belanda,
situasi dukungan politik di dalam negeri justru semakin
menguat, khususnya PNI dan PKI yang secara progresif
58

