Page 42 - Ayat-ayat api
P. 42

Sapardi Djoko Damono





                IBU




                   Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia
                adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi
                ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
                makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah
                saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian
                ke makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang,
                menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan
                pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia
                tahu benar apa yang akan terjadi.”
                   Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
                Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
                utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka
                mengingatkanku untuk menengok makam Ayah,
                mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah
                mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat
                sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
                mempercayai segala yang dikatakannya.”
                   Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil
                menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
                kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku
                berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana,
                di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan
                terbang dari mega ke mega—dan tidak mondar-
       www.facebook.com/indonesiapustaka  sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun
                mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan
                dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu

                sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami
                igauanmu.”


                 32
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47