Page 25 - adab-bersin
P. 25

Kisah Sebuah Pernikahan



               “Sedikit Renungan cerita buat kita yang banyak hikmahnya jika kita mau mengkajinya”

                       Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku
               menjadi  makhluk  yang  paling  berbahagia.  Tapi  yang  aku  rasakan  justru  rasa  haru  biru.
               Betapa  tidak.  Di  hari  bersejarah  ini  tak  ada  satu  pun  sanak  saudara  yang  menemaniku  ke
               tempat  mempelai  wanita.  Apalagi  ibu.  Beliau  yang  paling  keras  menentang
               perkawinanku.Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari,

                       “Jadi juga kau nikah sama buntelan karung hitam’ itu ….?!?” Duh……, hatiku sempat
               kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut ‘buntelan karung hitam’.

                       “Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut
               dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi
               dibanding kamu !!” sambung ibu lagi.

                       “Cukup  Bu!  Cukup!  Tak  usah  ibu  menghina  sekasar  itu.  Dia  kan  ciptaan  Allah.
               Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu…?” Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan
               ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.


                       “Oh….  rupanya  kau  lebih  memillih  perempuan  itu  ketimbang  keluargamu.  baiklah
               Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di
               tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!”


               DEGG !!!!

                       “Yanto….  jangan  bengong  terus.  Sebentar  lagi  penghulu  tiba,”  teguran  Ismail
               membuyarkan lamunanku.


               Segera kuucapkan istighfar dalam hati.

                       “Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah …akhi,” sekali lagi Ismail memberi
               semangat padaku.

                       “Aku  terima  nikahnya,  kawinnya  Shalihah  binti  Mahmud  almarhum  dengan  mas
               kawin  seperangkat  alat  sholat  tunai  !”  Alhamdulillah  lancar  juga  aku  mengucapkan  aqad
               nikah.

                       “Ya  Allah  hari  ini  telah  Engkau  izinkan  aku  untuk  meraih  setengah  dien.
               Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain.”

                       Di kamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.Memandangi
               istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam,
               akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.

                       “Assalamu’alaikum  ….  permintaan  hafalan  Qur’annya  mau  di  cek  kapan  De’…?”
               tanyaku  sambil  memandangi  wajahnya  yang  sejak  tadi  disembunyikan  dalam  tunduknya.



                                                           25
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30