Page 27 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 27

Begitulah,  ketika  kapal  kembali  merapat  di  Bitung  tiga  hari
            kemudian, lagi-lagi aku melihat gadis itu berdiri di dermaga.
                   "Hai, kamu pasti menunggu aku," kataku.
                   "Huh, siapa bilang?"
                   "Aku sudah memesan satu tiket ke Jakarta, Kelas Satu."

                   "Maksudmu?" Kulihat matanya berbinar.
                   "Kalau kamu sempat menyiapkan barangmu dalam satu jam,
            berpamitan  dengan  keluargamu  dan  mendapat  ijin,  kamu  boleh
            menggunakan tiket itu."
                   "Aku  sudah  membawa  semua  barangku,"  katanya  sambil

            menunjuk travel bag kecilnya itu. "Dan tidak ada siapa pun yang bisa
            kupamiti di sini."
                   "Kalau begitu, naiklah."
                   Ia meloncat kegirangan dan memelukku. Aku mendorongnya
            untuk  menjauhkan  tubuhnya  dariku.  Bau  parfumnya  itu  bisa-bisa
            mengacaukan pikiranku.

                   Selama di kapal aku sempat berbincang-bincang dengannya.
            Sesekali aku menemaninya makan di kantin, atau berjalan-jalan saja
            di  geladak  sambil  memandangi  lautan.  Pernah  sekali  aku
            menemaninya nonton di bioskop kapal. Tapi itu tak membuatku lebih
            mengenal asal-usulnya. Ia enggan menceritakan hal itu, sebagaimana

            ia pun tak pernah menanyakan asal-usulku.
                   Sampai  di  Pelabuhan  Tanjung  Priok,  kupanggilkan  taksi
            untuknya. Kuberikan alamat dan nomor telepon temanku yang punya
            salon itu. Berkali-kali aku berpesan padanya agar bekerja dengan baik
            dan pandai-pandai menjaga diri. Agar ia menghindari hal-hal negatif
            yang  akan  merugikan  dirinya  sendiri.  Begitulah,  aku  melepasnya


            Rahadi W. :  Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah   Halaman 26
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32