Page 23 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 23

"Tidak apa-apa, mau melihat kapal berangkat saja," jawabnya.
                   "Ada  temanmu  di  sana?" tanyaku  sambil  menunjuk ke  arah
            kapal.
                   Ia menggeleng.
                   "Lalu mengapa kamu melambai-lambai?"

                   "Tidak bolehkah?"
                   "He  he...  tentu  saja  boleh.  Siapa  yang  menjemputmu?"
            tanyaku sambil mengamati orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
                   "Tidak ada," katanya sambil menggeleng.
                   "Jadi benar-benar sendirian kamu?"

                   "Ya, apa itu jadi masalah buatmu?"
                   Aku  tertawa.  Kutanyakan beberapa  hal  lagi  padanya,  dan  ia
            menjawab pendek-pendek saja. Beberapa saat kemudian, peluit kapal
            berbunyi, mengingatkan bahwa tangga akan segera diangkat.
                   "Aku ingin pergi ke Jakarta," katanya tiba-tiba.
                   "Oh, ya? Ada keluarga di sana?"

                   Ia menggeleng.
                   "Terus, mau apa ke Jakarta?"
                   Ia hanya mengangkat bahu.
                   "Dua  minggu  lagi,"  kataku.  "Kapal  ini  akan  ke  Jakarta  lagi.
            Kamu bisa ikut, kalau ada tiket."

                   Tiba-tiba wajahnya berubah muram.
                   Peluit kapal berbunyi sekali lagi.
                   "Oke, selamat tinggal, Alicia," kataku. "Sampai jumpa lagi."
                   Aku bergegas naik ke tangga kapal.
                   "Hai, Dokter!" teriaknya tiba-tiba.
                   "Apa?"


            Rahadi W. :  Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah   Halaman 22
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28