Page 29 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 29
penting adalah saat ini. Dan saat ini Alicia selalu menunjukkan sikap
yang sempurna sebagai istri yang baik, penurut, dan penuh kasih-
sayang. Itu sudah lebih dari cukup.
Kalaupun ada yang sedikit mengurangi kebahagiaan, mungkin
adalah kenyataan bahwa hingga enam bulan menikah belum ada
tanda-tanda kami akan dikaruniai anak. Tapi sebenarnya ini juga
belum begitu menjadi ganjalan bagiku. Kami masih menikmati saat-
saat indahnya pengantin baru, soal anak belum terpikirkan. Kupikir
Alicia pun sama denganku. Hingga suatu hari baru aku menyadari
bahwa ada hal lain yang tak sepenuhnya kumengerti.
Suatu hari, mendadak aku pulang kerja lebih cepat dari
biasanya. Atasanku memberiku kesempatan pulang cepat, karena
besok aku harus mendampinginya pada rapat bisnis rumah sakit di
luar kota. Aku tidak merasa perlu menelpon Alicia terlebih dahulu.
Bahkan, ketika sampai di rumah, aku juga tidak mengetuk pintu
sebelum masuk. Pasti Alicia tidak menyadari kedatanganku yang
mendadak. Saat itulah aku terkejut mendengar suara seseorang
menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Suara tangis Alicia.
Sebelumnya, belum pernah aku melihat Alicia menangis.
Bahkan, aku tidak pernah menyangka ia bisa menangis. Kurasa ia
seorang gadis yang tangguh, tak pernah sedih, tak pernah murung.
Pipinya yang merona kemerah-merahan menggambarkan
keceriaannya selalu.
“Kenapa, Alicia?” tanyaku heran.
Ia terkejut sekali. Segera tangisan itu menghilang begitu saja.
Begitu cepat ia berusaha menghapus air matanya. Dan wajahnya pun
berubah, kembali ceria, dengan mata yang berbinar-binar setiap ia
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 28