Page 33 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 33
Aku berlari menyusuri selasar rumah sakit itu kembali ke
kamar bersalin. Aku tidak segan lagi dipandang aneh oleh orang-
orang. Aku berlari secepat yang aku bisa. Dini hari, selasar itu sudah
mulai ramai. Beberapa kali aku hampir bertabrakan dengan orang
yang menghalangi jalanku. Nafasku hampir putus rasanya ketika aku
sampai di pintu kamar bersalin. Serempak dengan bunyi tangisan kuat
bayi yang baru lahir. Anakku!
“Alhamdulillah... cewek, Dokter!” sambut Bu Bidan
menyambut kedatanganku yang masih terengah-engah. “Ayo silakan
dibacakan adzan dan iqomahnya."
Bayi mungil itu masih menangis dengan kerasnya ketika Bu
Bidan menyerahkannya padaku. Dalam gendonganku, tangisannya
agak mereda. Dan ketika kubacakan adzan dan iqomah di kedua
telinganya, tangisnya pun berhenti. Ia tampak tidur dengan tenang.
“Dokter Rino, ada telepon, katanya penting!” kata seorang
perawat memanggilku.
Dengan tangan kiri menggendong bayi, tangan kananku
mengangkat telepon itu.
“Dari Ruang 29, Dokter, maaf ini ada yang mau disampaikan,”
kudengar suara Bu Eni. “Pasien Nyonya Vera itu, baru saja
meninggal....”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun....” Sesaat, hanya itu yang
bisa kuucapkan. Tanpa kusadari, sebutir air mataku menggelinding
melintasi pipiku dan jatuh ke lantai.
“Ya, terimakasih Bu Eni. Tolong diurus baik-baik ya, nanti
semua urusan administrasi termasuk biaya dalam tanggungan saya.”
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 32