Page 34 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 34

Aku  meletakkan  gagang  telepon.  Tanganku  merogoh  saku
            celana.  Ada  sebuah  bungkusan  yang  kusimpan  di  situ.  Bungkusan
            kecil dari kertas, yang sudah lama kusimpan dalam sebuah buku lama,
            dan  kulupakan.  Kemarin,  menjelang  kelahiran  anakku,  entah
            mengapa aku membuka buku lama itu, dan mengambil bungkusan ini.

            Sekarang  aku  mengerti,  mengapa  begitu.  Kubuka  bungkusan  itu,
            bunga  mawar  itu  sudah  layu  dan  mengering.  Bunga  mawar  yang
            ditaruh Alicia di mobilku dulu.
                   Ah,  teringat  lagi  perkataan  seorang  teman...  cara  terbaik
            untuk melupakan adalah dengan tidak melupakan.

                   Aku  membawa  bayi  mungil  itu  menemui  ibunya.  Annisa
            tersenyum bahagia melihatku. Wajahnya memang tampak pucat dan
            letih,  tapi  itu  tidak  menutupi  rona  kebahagiaannya.  Kuserahkan
            putriku ke dalam dekapan ibunya. Annisa memandang wajah bayi itu
            berlama-lama, seolah tak puas-puasnya.
                   “Pah, lihatlah pipinya merah, cantik sekali,” katanya.

                   Aku pun memperhatikannya. Benar sekali.
                   “Jadi, siapa namanya, Pah?”
                   “Alicia,” jawabku.











            Rahadi W. :  Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah   Halaman 33
   29   30   31   32   33   34   35