Page 6 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 6
"Oh, ya. Selamat ya, Dok. Semoga lancar-lancar saja. Maaf,
sudah mengganggu. Tapi... besok belum tentu orangnya masih ada,
Dok."
"Maksudnya?"
"Begitulah, jelek kondisinya sekarang. Kesadaran menurun.
Tensinya ngedrop terus. Sudah di-drip NE tuh. Makin sesak juga.
Jangan-jangan nggak bertahan sampai besok pagi."
"Mmm... begitu ya?" Aku jadi bimbang. "Ntar deh, kalau
sempat. Terimakasih informasinya."
"Oke, Dok. Sama-sama."
Aku jadi merasa kurang enak. Bimbang. Enggan rasanya
meninggalkan istriku walau hanya sebentar saat ini. Aku ingin
mendampinginya hingga anak kami lahir. Bagaimanapun, ini anak
pertama. Tapi, mungkin masih ada waktu cukup panjang sebelum tiba
saat persalinan. Dan orang itu bisa meninggal kapan saja. Walaupun
namanya, Ny. Vera, sama sekali tidak kuingat, tapi tetap membuatku
penasaran. Siapa kiranya dia, orang yang mengingat namaku di kala
sedang sekarat?
Akhirnya aku memanggil ibu mertuaku yang sejak tadi
menunggu di luar kamar bersalin. Kuminta beliau masuk,
menggantikan aku menunggui anaknya.
"Mah, ditunggui ibu dulu ya," kataku pada istriku. "Sebentar,
aku ada perlu, ada panggilan dari ruangan di belakang."
"Mmhh... ya, tapi jangan lama-lama," jawabnya sambil
meringis menahan sakit, kontraksinya datang lagi.
Jam satu malam. Di luar langit gelap. Bulan tiada tampak,
bahkan setitik bintang pun tidak. Sepertinya mendung begitu tebal,
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 5