Page 8 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 8
lama aku melupakannya. Sejak aku bertemu dan kemudian menikah
dengan Annisa, dua tahun yang lalu, lambat-laun bayangan itu makin
memudar, dan akhirnya hilang sama sekali. Dulu, bayangan wajah itu
memang pernah membuatku jadi seperti orang gila. Kehilangan
semangat hidup, bahkan kehilangan segala-galanya. Bila mungkin,
akan kujelajahi tiap jengkal tanah di bumi ini untuk mencarinya. Tapi
sia-sia belaka, dia hilang bagai ditelan bumi, membawa separuh
jiwaku bersamanya.
Ah, mengapa pula aku memikirkan hal itu lagi? Aku mengutuk
diriku sendiri. Sudah terlalu banyak penggalan usiaku yang tersia-sia
olehnya. Kini aku tinggal punya sisanya, yang akan kuhabiskan
bersama Annisa, dan buah hati kami yang akan lahir tak lama lagi.
Betapa susah-payah aku dulu menarik diri dari keterpurukan, untuk
bisa kembali dan menerima kenyataan. Tidak, aku tidak boleh
terjerumus lagi. Kubuang jauh-jauh bayangan wajah berpipi merah itu
dari benakku. Kulanjutkan langkahku, aku harus menyelesaikan
urusan ini secepatnya.
"Ah, Dokter Rino, sudah lahir putranya, Dok?" sapa Bu Eni
ketika aku sampai di depan pintu masuk Ruang 29. Ruangan ini
menempati satu bangunan tersendiri di sudut belakang Rumah Sakit
Saiful Anwar. Di sebelah pohon rindang, berdekatan dengan tembok
pembatas Taman Budaya Senaputra.
"Belum, Bu. Tak lama lagi mungkin, sudah makin sering
kontraksinya," jawabku.
Aku menerima sebuah masker penutup hidung dan mulut
yang diberikan oleh perawat setengah baya itu.
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 7