Page 12 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 12
Tapi ia tak membuka matanya lagi. Berkali-kali kupanggil, dan
kugoyang-goyangkan tangannya, tapi ia tetap diam. Matanya
terpejam, tak pernah terbuka lagi. Nafasnya masih terus bergerak
naik-turun dengan cepat.
"Seperti itulah, kesadarannya naik turun," kata seseorang di
belakangku. Aku menoleh. Ternyata Lina, dokter jaga itu. "Tensinya
ngedrop terus. Ini sudah dengan drip Norepinephrin maksimal, dua
mikro. Itu yang terpasang tinggal botol terakhir. Tadi keluarganya
bilang, sudah tak sanggup kalau harus beli Vascon lagi. Ini paling
tinggal untuk setengah jam lagi. Setelah itu entah, sudah nasibnya
mungkin."
"Keluarganya? Ada keluarganya di sini?" tanyaku heran.
"Sepertinya juga bukan keluarganya benar-benar," jawab Lina.
"Mereka hanya kepothokan saja. Pemilik kos-kosan dan tetangga-
tetangga kamarnya, mereka patungan membantunya. Itu pun sudah
habis duit katanya.""Bagaimana dia bisa ada di kos-kosan itu?"
"Entahlah, ini pasien identitasnya juga nggak jelas. Nggak ada
yang tahu asalnya dari mana. KTP-nya sih dari Bengkalis, tapi
kelihatannya juga bukan orang sana. Ia masuk kos-kosan itu tiga bulan
lalu, sudah kelihatan sakit-sakitan. Urusannya apa di Malang sini juga
gak jelas. Teman kosnya pernah memergoki dia mondar-mandir di
depan rumah sakit. Tapi waktu ditanya jawabnya berbelit-belit."
"Kapan mulai rawat inapnya?"
"Kemarin dulu, masuk Ruang 23 Infeksi karena TBC Milier.
Tapi sejak awal sudah curiga ini pasien HIV. Ternyata benar,
determinannya positif. Pindah ke Ruang 29 kemarin siang, sudah
makin jelek kondisinya. Obat-obat juga nggak lancar masuknya.
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 11