Page 17 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 17
"Permisi, Nona," sapaku pada wanita muda itu sambil
berusaha tetap berdiri tegak di tengah goyangan kapal yang
memualkan ini.Dia menoleh.
"Ya?" sahutnya.
Itulah saat pertama aku melihat wajahnya. Basah oleh
tempias gerimis yang menerpanya. Tersinari oleh lampu-lampu di
buritan kapal yang tidak begitu terang, wajah putih oval itu bagai
purnama di tengah keremangan malam. Pipinya kemerah-merahan.
Bahkan keremangan malam tidak bisa menyembunyikan merah
pipinya itu. Betul, sejak pertama kali melihatnya, merah pipinya itu
yang membuatnya kelihatan istimewa di mataku.
"Apa yang Nona lakukan di sini? Berbahaya berdiri di dekat
pagar kapal. Apa tidak membaca papan peringatan itu?"
Ia menatapku. Bahkan, kurasa ia mengamati sekujur tubuhku,
dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Ya, tentu saja aku bisa membacanya," jawabnya sambil
tersenyum.
Apa yang disenyumkannya? Apakah ia merasa lucu dengan
aksenku yang memang terdengar asing di Indonesia bagian timur ini?
"Terus, mengapa masih di sini? Nona bisa jatuh ke laut kalau
tidak hati-hati," ujarku melanjutkan.
Ia masih terus menatapku, membuatku jadi agak gugup,
bahkan salah tingkah. Belum pernah sebelumnya aku ditatap seperti
itu oleh seseorang, apalagi wanita. Ketika aku melihat wajahnya,
pandangan mata kami bertemu. Mata putih bersih dengan biji mata
sehitam pekatnya malam itu, memantulkan kerlip sinar lampu buritan
kapal. Aku tak tahan bertatapan dengannya, dan mengalihkan
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 16