Page 14 - alicia-dan-pipinya-yang-tak-selalu-merah
P. 14
"Ya, aku tahu," sahutku sambil menggigit bibir. "Kalau dia
sudah menyebut namaku, maka aku harus menolongnya. Bisa jadi,
dia adalah seorang teman lama. Siapa tahu?"
"Oke, terserahlah. Jadi kita pertahankan ini maksimal ya?"
kata Lina.
"Ya, sampai Tuhan berkehendak lain."
Matanya terpejam. Tubuhnya yang pucat dan kurus kering itu
lunglai, diam tak bergerak. Tak berdaya lagi untuk hidup. Hanya
gerakan nafas di dadanya itu yang menampakkan kalau ia masih
hidup. Paling tidak, hingga saat ini ia masih bertarung melawan maut
yang menggerogotinya sekerat demi sekerat. Pada kondisi seperti ini,
apa sebenarnya yang sedang dipikirkannya? Apakah ia sedang
bermimpi? Adakah orang-orang yang menemani di dalam mimpinya?
Atau ia hanya sendirian, tenggelam dalam kesunyian?
Bahkan di ruangan ini, satu-satunya orang yang mengetahui
namanya hanyalah aku. Sedang aku sendiri bukan orang yang betul-
betul mengenalnya. Dia sendirian di dunia ini. Sebatang kara di ujung
malam yang sepi. Sendiri di bangsal rumah sakit yang sedang
berselimut kesunyian ini. Di sekitarnya hanya ada geliat kesenyapan.
Jarang terdengar suara yang cukup bermakna, selain bunyi rintik
hujan di luar, dan kadang-kadang gelegar petir di kejauhan. Pasien-
pasien lain kebanyakan juga sedang tidur. Hanya kadang-kadang
terdengar suara batuk-batuk mereka dari kamar lain.
Aku masih berdiri di sudut kamar, memandangnya dengan iba.
Sedih, karena tak berdaya menolongnya. Tidak bisa tidak, ingatanku
terseret kembali beberapa tahun ke belakang, ketika aku bertemu
Alicia dalam keadaan yang jauh berbeda. Ketika dia masih seorang
Rahadi W. : Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah Halaman 13