Page 17 - Janji Di Ujung Jarak (Season 1)
P. 17
“Tapi beneran. Senyum kamu itu bikin aku lupa kalau hari ini capek,” lanjut Asep. “Makanya, jangan
pasang wajah dingin terus, ya? Aku kangen Aip yang ceria.”
Aip tertawa kecil, akhirnya tidak bisa menahan diri. “Iya, iya. Nanti aku senyum lebih sering, deh.”
“Nah, gitu dong,” ujar Asep sambil terkekeh. “Aku nggak mau liat kamu murung. Kalau ada apa-apa,
ngomong aja. Jangan dipendam sendiri.”
Aip merasa dadanya menghangat. “Makasih, Sep. Kamu selalu tahu cara bikin aku merasa lebih
baik.”
Mereka terus melaju, angin malam membelai wajah mereka dengan lembut. Tiba-tiba, ponsel Asep
yang tersimpan di saku jaketnya berbunyi. Getaran itu terasa jelas di tubuh Asep.
“Bentar ya, Aip. Kayaknya ada pesan penting,” ujar Asep sambil menarik motor ke bahu jalan, tepat
di depan sebuah mini market.
Mereka berhenti, dan Asep mengambil ponsel dari saku jaketnya. Ia membuka layar ponsel dengan
tangan sedikit gemetar, seolah tahu apa yang akan ia lihat. Matanya membesar saat membaca isi
pesan itu.
HRD PT. Sinar Makmur:
"Selamat! Anda diterima bekerja di perusahaan kami. Harap datang untuk orientasi minggu
depan. Lokasi kerja: Cabang Jakarta."
Asep terdiam sejenak, mencerna pesan itu. Hatinya berdebar, antara senang dan bingung. Ia
menoleh ke Aip yang sedang menatapnya penuh penasaran.
“Aip…” suara Asep bergetar. “Aku… aku keterima kerja.”
Mata Aip berbinar sejenak, kemudian tatapannya berubah lembut ketika menyadari ada sesuatu
yang tak terucap di balik kalimat itu. “Serius, Sep? Selamat! Aku seneng banget dengarnya.”
“Tapi lokasinya… di Jakarta,” lanjut Asep dengan suara pelan. “Aku harus pergi minggu depan.”
Senyum Aip memudar sedikit, meski ia berusaha tetap terlihat tegar. Hatinya terasa seperti ditarik
ke dua arah yang berlawanan—antara kebahagiaan karena impian Asep akhirnya terwujud, dan
kesedihan karena harus berpisah.
Aip menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Itu kan yang kamu impikan selama ini, Sep.
Kamu harus pergi. Aku yakin kamu bakal sukses di sana.”
“Tapi… aku takut ninggalin kamu,” kata Asep, suaranya penuh keraguan. “Aku nggak tahu bisa nggak
tanpa kamu.”
“Kita bisa tetap komunikasi, Sep. Aku akan selalu dukung kamu, dari mana pun,” ujar Aip, suaranya
bergetar namun penuh ketulusan.
Asep menatap mata Aip, mencari kepastian di sana. “Beneran nggak apa-apa?”
Aip menahan air matanya. “Iya. Yang penting kamu bahagia.”
---
Di Depan Rumah Aip
Motor Asep berhenti perlahan di depan rumah Aip. Mereka sama-sama enggan untuk
mengakhiri malam itu. Asep melepas helmnya dan menatap Aip dengan mata yang penuh perasaan.
“Aip… sebelum aku pergi, boleh nggak aku minta sesuatu?” tanya Asep pelan.
Aip menatap Asep, matanya berkilau di bawah cahaya lampu teras. “Apa, Sep?”
Asep menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara lembut, “Aku pengen… kamu inget aku
dengan sesuatu yang manis. Boleh aku… mencium kening kamu?”